Selasa, 29 November 2011

"Like A Song lyrics" By Lenka


I can't forget you when you're gone
You're like a song that goes around in my head
And how I regret, it's been so long
Oh, what went wrong? Could it be something I said?

Time, make it go faster or just rewind
To back when I'm wrapped in your arms

All afternoon long it's with me the same song
You left a light on inside me, my love
[ From: http://www.elyrics.net/read/l/lenka-lyrics/like-a-song-lyrics.html ]
I can remember the way that it felt to be
Holding on to you

I can't forget you when you're gone
You're like a song that goes around in my head
And how I regret, it's been so long
Oh what went wrong? Could it be something I said?

Time, make it go faster or just decide
To come back to my happy heart

Aku Tak Pernah Tau Kapan Harus Berhenti

By: AngelGetMad


”Nasib yang paling beruntung adalah tidak dilahirkan.
Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda.
Dan yang paling sial adalah mati tua.”
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)

Aku ini memang bukan Realis murni.
Tapi aku juga bukan orang yang idealis.
Aku salut melihat perjuangan orang-orang seperti Soe Hok Gie dan Munir.
Tapi aku tidak siap untuk menjadi seperti mereka.

Terlalu banyak orang yang menderita.
Itu menjadikan terlalu banyak orang yang juga harus dibantu.
Apa mereka semua harus diberikan uluran tangan?

Aku mulai meragukan sesuatu yang selama ini dikenal dengan sebutan ”kepedulian”
Apakah ada orang yang sungguh-sungguh peduli?
Kalau bukan keluarganya, atau temannya, atau tetangganya, atau orang-orang yang pernah membantunya.
Apakah ada orang yang mau peduli pada orang lain?

Yah...
Kurasa aku harus berhenti bersikap skeptis.
Tapi aku merasa sulit menepis pikiran-pikiran seperti itu.
Aku memang manusia yang penuh dengan pikiran-pikiran sampah.
Aku tempat berkumpulnya kebencian, kedengkian, kekecewaan, kemarahan, dan semua hal-hal buruk yang (pastinya) dimiliki manusia – walaupun dengan kadar yang berbeda.

Dunia ini terlalu indah kalau bisa melihat cinta.
Tapi sayang cinta itu tidak bisa terlihat kecuali hanya dalam susunan lima huruf yang membentuk sebuah kata C I N T A.
Kau bilang cinta bisa ditunjukkan dengan pelukan?
Atau ciuman?
Atau ucapan ’aku mencintaimu’?
Atau sebuah pengorbanan?
Apa itu yang namanya cinta?

Ok, anggaplah aku ini orang bodoh yang tak mengenal cinta.

Tapi apa kau pernah berpikir, kalau saja benar orang-orang di dunia memiliki dan menyanjung cinta.
Kenapa kita masih butuh uang?
Bukankan bisa saja kita membeli es krim lalu membayarnya dengan pelukan atau ciuman?
Tidak bisa, kan?

Jadi mana yang lebih besar di dunia ini?
Love?
Atau...
Profit?

Cinta itu tidak banyak di dunia.
Cinta itu bukan milik semua orang.
Bukan milik manusia...
Bukan.

Beruntunglah kalian yanga mati muda.
Dari tiada kembali ke tiada...
Dan berbahagialah dalam ketiadaan.
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)

Jumat, 25 November 2011

Sepenggal cerita dari LO (Liaison Officer) SEA Games 2011. (The great Indonesian spectators falling from grace)


 I’ve never felt like this before, I did always have a thought that Malaysian is the one who pick a quarrel. But, actually, it’s not like that, not totally I guess.

Rusaknya sebiji kacang hijau, bukan berarti kacang hijau yang lain di dalam karung juga rusak. Kami para LO atau NOC Assistances adalah orang pertama yang paling dekat dengan kontingen masing-masing negara yang menjadi tanggung jawab kami. Sebagai LO, kami selalu mendampingi kontingen, mulai dari menjemput mereka dari airport, mengantar ke lokasi training dan venue pertandingan setiap hari, memastikan mereka merasa nyaman selama SEA Games, sampai mengantarkan mereka kembali ke airport di hari terakhir kompetisi SEA Games

Tanpa perlu menyombong, dengan berbangga hati saya sebagai LO team Taekwondo Philippines bisa mengatakan bahwa mereka sudah menganggap saya bagian dari team. Waktu yang singkat tak mampu mencegah kami menjalin pertemanan. Saya pikir, begitu juga dengan LO negara yang lain. Saya tak begitu paham kondisi cabang olahraga (cabor) yang lain selain Taekwondo dan Futsal. Jadi saya hanya akan bicara mengenai pertandingan Taekwondo dan Futsal untuk menjadikannya sebagai tolak ukur cabor lainnya.

Supporter Indonesia sudah menunjukkan sikap anti terhadap kontingen Malaysia bahkan sejak opening ceremony Taekwondo di GOR POPKI Cibubur diselenggarakan. Mereka menyerukan “buuuuu….” keras ketika protocol acara memanggil kontingen Malaysia untuk bergabung dengan kontingen lainnya, sorakan bahkan sudah dimulai ketika kontingen Malaysia berjalan di sisi lapangan denga membawa bendera Malaysia.

Perasaan saya terasa sangat berbeda dengan saat saya biasanya menonton pertandingan Indonesia vs Malaysia melalui layar kaca. Biasanya saya hanya akan tersenyum menyaksikan ulah supporter Indonesia yang kelihatan sangat tidak menyukai Malaysia. Tapi kali ini, saya merasa malu dan ingin sekali meneriakkan “DIAM!” pada mereka. Teman saya, LO team Malaysia, sampai berkali-kali meminta maaf pada kontingennya walaupun kontingen Malaysia juga berkali-kali mengatakan “Tidak apa-apa, kamu tidak perlu minta maaf.” Yang membuat saya semakin tidak enak hati adalah feedback kontingen Malaysia yang ternyata sangat berbesar hati memaklumi sikap supporter Indonesia dan tetap berteman baik dengan kami, para LO ataupun Indonesian committee lainnya yang mereka temui.

Pada pertandingan Futsal, ketika para supporter bertiak “maling… maling…” pada kontingen Malaysia yang memasuki lapangan, salah seorang atlet Philippine bertanya pada saya, “What that means?”
Saya bingung harus menjawab apa, dan memutuskan untuk mengatakan, “I have no idea, I can’t clearly hear what are they yelling out.”
Dan atlet yang lain pun ikut bertanya, “But, they are yelling in a harmony. What the meaning of that? Why are they going mad because of Malaysian appearance?”

Saya hanya bisa tertawa garing, dalam hati saya berpikir, perlukah saya menceritakan isu antara Indonesia-Malaysia yang selama ini hanya saya ketahui melalui media (saya mulai berpikir kalau mungkin saja selama ini saya sudah terlalu banyak termakan berita yang dibesar-besarkan karena berdasarkan kenyataan yang saya lihat selama SEA Games, orang-orang Malaysia cukup bersahabat). Lagipula, saya sadar kalau SEA Games adalah ajang olahraga yang menjunjung sportifitas antara negara-negara Asia Tenggara. Rasanya sangat tidak etis kalau pada momen seperti ini, saya mengungkit isu politik yang belum cukup jelas saya ketahui seluk-beluk masalahnya.
“Yeah…,” saya mencoba menjawab, “You know, neighbors always have something to quarrel about. There are some issues between Indonesia and Malaysia.” Itulah jawaban saya.

Setiap kali kami, para LO, sudah mengantarkan kontingen kami ke venue (POPKI Cibubur). Maka kami punya waktu luang untuk berkumpul sambil menonton pertandingan sebelum nanti pertandingan usai dan kami harus me-manage kontingen kembali ke hotel. Makanya, kami sering berkumpul di satu sudut tribun penonton untuk memberikan dukungan pada kontingen masing-masing (jika kontingen kami tidak sedang bertanding dengan Indonesia :D).

Ketika tiba giliran kontingen Malaysia yang bertanding, sorakan negative pun mulai terdengar dari segala penjuru GOR. Beberapa atlet dan official Malaysia di tribun, yang tidak sedang bertanding,  ketika baru saja ingin memberikan dukungan langsung ditimpali dengan sorakan penonton dan akhirnya membuat mereka urung berteriak memberikan dukungan pada temannya. Kami, sekelompok LO, pun berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk memberikan dukungan pada kontingen Malaysia. Tapi kami tidak kehabisan akal untuk sedikit membesarkan hati kontingen Malaysia – yang sepertinya sudah gerah karena terus-terusan menerima “buuuu…,” sejak hari pertama. Kami cukup akrab dengan kontingen Malaysia, kami mengenal beberapa nama atletnya, maka alih-alih meneriakkan nama “Malaysia”, kami memilih untuk meneriakkan nama atlet yang sedang bertanding. Dengan kompak kami meneriakkan “Semangat, Edy!” nama salah seorang atlet Taekwondo Malaysia. Mendengar teriakan dukungan dari kami, sisa kontingen Malaysia yang tidak sedang bertanding di tribun itu pun langsung menoleh ke arah kami, kumpulan para LO berseragam biru. Lalu mereka tersenyum terlihat sangat senang. Kami pun puas karena bisa memberikan dukungan tanpa harus menerima tatapan membunuh atau sorakan negative dari penonton Indonesia di GOR itu.

Ulah supporter yang memalukan dan menjadi aib bagi Indonesia ini bukan hanya ditujukan untuk Malaysia (walaupun pada kenyataannya kontingen Malaysia yang menerima sikap permusuhan terburuk). Waktu saya melihat pertandingan final badminton di Istora Senayan, lagi-lagi saya harus merasakan malu yang sama. Kali ini terhadap kontingen Singapore. Firdasari berhasil dikalahkan dipertandingan final, dan Singapore berhak atas medali emas, tapi pada saat lagu kebangsaan Singapore dikumandangkan, supporter Indonesia malah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sungguh kekanak-kanakan dan (menurut saya) itu tidak bisa dimaafkan. Kriminalitas tingkat tinggi yang sangat mencoreng nama bangsa. Indonesian spectators sangat tidak dewasa, mereka ingin dihormati tapi tidak mampu menghormati bangsa lain. Saya melihat beberapa official Singapore menggelengkan kepala menyaksikan aksi yang sangat tidak bersahabat dari para penonton.

Thailand juga harus menelan penghinaan yang sama. Waktu itu adalah pertandingan sepakbola Indonesia vs Thailand, saya menemani team manager Taekwondo dari Thailand untuk menonton langsung di GBK. Beliau sangat antusias, bahkan beliau menolak untuk duduk di kursi VVIP dan lebih memilih duduk bersama kami, para LO Taekwondo yang menemaninya. Beliau memang datang untuk mendukung tim sepakbola negaranya, tapi beliau mengaku senang dengan euphoria para pendukung Indonesia bahkan sesekali ikut meneriakkan yell-yell “Indonesia… Indonesia” di sela tepuk tangan kompak para supporter. Beliau mengaku senang karena di Indonesia begitu banyak orang menyukai sepakbola, laki-laki maupun perempuan.

Saat pertandingan usai, kami pun berjalan keluar GBK untuk kembali ke hotel, di tengah kerumunan saya melihat media Thailand sedang on air bersama reporternya. Malam itu, Thailand mengalami kekalahan, tapi team manager Taekwondo yang saya temani menonton di GBK itu tidak terlihat marah ataupun sedih sama sekali. Beliau menyukai pertandingan ini walaupun timnas mudanya kalah, beliau bahkan mengaku bahwa malam pertandingan itu adalah pengalaman yang sangat menyenangkan baginya.

Tapi yang terjadi selanjutnya, salah seorang supporter Indonesia berteriak “Indonesia menang, Thailand f*ck!” sambil mengacungkan jari tengahnya di depan media Thailand tepat ketika saya dan manager team Taekwondo Thailand sedang melintas. Saya tidak tahu beliau menyadarinya atau tidak, tapi saya bersyukur bahwa setelah kejadian itu beliau tetap bersikap seperti biasa.

Saya harap, penonton Indonesia dapat lebih dewasa dalam menyikapi persaingan anta negara, khususnya dalam bidang olahraga yang seperti ini. Jika ingin bangsa kita dihormati, maka hormatilah bangsa orang lain terlebih dulu. Saya tidak tahu siapa yang lebih dulu menyalakan api di antara Indonesia dan Malaysia, tapi kalau api sudah menyala seperti ini, tidak ada gunanya kita menyiramkan bensin ke dalam nyala api. Salah-salah malah kita sendiri yang nantinya akan terbakar. Apa salahnya kita berusaha memadamkan api walaupun air yang kita miliki tidak banyak. Apa salahnya kita bersikap sedikit bersahabat kepada negara jiran daripada kita ikut-ikutan memusuhi mereka yang nantinya bisa memperburuk keadaan.

Mungkin mereka (Malaysia) memang agak menyebalkan, sering sekali membuat masyarakat Indonesia merasa gerah dan jengkel karena ulahnya yang aneh-aneh. Tapi bukan berarti semua orang Malaysia seperti itu, bukan berarti kita harus memusuhi semua orang Malaysia yang kita lihat. Selidikilah dulu akar permasalahannya sebelum mengambil sikap, jangan cuma ikut-ikutan saja.

Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan.

Tolong berpikirlah sebelum bertindak.

Salam Damai



Indonesian spectators "memerahkan" GBK