Obrolan Berkelas Mulai dari PNS, Nilai Kemerdekaan, Malaysia, Jokowi, sampai ke si Dul.
5 Oct 2013
Pagi ini saya sedang dalam perjalanan menjemput kakak saya yang baru pulang dari Jakarta, dimobil saya bersama dengan abang sepupu saya, Bang Rozy namanya. Awalnya kami cuma membicarakan hal-hal sepele soal pekerjaan. Bang Rozy saat ini berprofesi sebagai penarik bentor (becak motor) di Medan, kalau dipikir-pikir, sebenarnya dia punya cukup banyak koneksi jika ingin bekerja di suatu tempat yang ia inginkan. Yah... kita tahu sendirilah, zaman sekarang kalau mau bekerja, koneksi adalah yang paling utama dibutuhkan jika ingin jalannya cepat dan mulus, kecuali Anda benar-benar Outstanding. Tapi, biar bagaimanapun, semoga kita terlindung dari hal-hal yang seperti itu ^^
Bang Rozy (Selanjutnya akan disebut R) : “Gak kepengen jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Gie?”
Saya (Selanjutnya akan disebut G): “Udah nyoba, bang. Belum rejeki.”
R : “Emang cita-citanya mau jadi PNS?”
G : (tertawa) “Nggak sih, cuma dulu mama pernah bilang kalau dia udah cukup senang seandainya bisa ngeliat Gie pake baju PNS dan kerja di pemerintahan”
R : “Iya, orangtua emang senangnya begitu. Ngeliat anaknya kerja yang rapi, dapat gaji pasti tiap bulan.”
G : “Tapi kalau Gie sih, jadi PNS itu pilihan terakhir.”
R : “Kenapa?”
G : “Yah... Abang lihat aja lah tingkah PNS yang ada. Gie mulai males lihat PNS sejak dulu pas mau ngurus KTP, yaelah... kerjanya enak banget. Bergosip di kantor, potong duit sana potong duit sini. Buat surat selembar aja ngomong ‘seikhlasnya’ alasan untuk uang jalan bla-bla-bla... lebih parah lagi kalo ada yang gak sopan. Orang datang nanya baik-baik, dijawab ‘pake urat’. Kayak kerjanya paling capek aja. Padahal kan PNS itu pelayan. Pelayan masyarakat. Yang gaji mereka itu masyarakat. Masa’ ama majikan sendiri gak hormat”
R : (tertawa) “Keenakan dapat duit mereka itu. Kalo jadi PNS memang susah, susahnya karena sekeliling udah rata-rata pada begitu. Kita mau gak mau jadi ikutan begitu. (Red: Jadi orang waras di antara orang gila itu jadinya kayak kita yang gila dan mereka yang waras). Kalau kita nolak, bisa gak bahagia hidup kita selama kerja jadi PNS. Abang makanya malas, biar kerja apa juga asal jangan jadi PNS. Dikutuk sana-sini, kalo sampe lebih dari 40 orang yang ngutuk kita, bisa jadi kenyataan kan berabe” (tertawa) “Lah... kamunya terus pengen jadi apa sebenarnya?”
G: “Anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”
R : “Ha, bagusitu. Udah pernah nyoba?”
Saya sebenarnya agak heran juga melihat reaksi Bang Rozy yang tidak menertawakan saya saat saya bilang saya ingin menjadi anggota KPK. Karena biasanya orang akan mendengar cita-cita itu seperti candaan, meskipun saya mengatakannya dengan cukup serius.
G: “Kemaren lihat web-nya buka lowongan, tapi umur mesti 28 tahun ke atas (red: saya masih 24tahun)”
R: “Ya... untuk sementara cari pengalaman dulu. Jadi PNS aja dulu, gak ada salahnya juga. Paling nggak ada lah beberapa orang dari PNS yang masih 'lurus'.”
G: (tertawa)“Abang ngomongnya kayak yang gampang banget gitu mau jadi PNS”
R : “Kenapa pengen jadi anggota KPK?”
G : “Mau coba gabung ama orang-orang yang ‘katanya’ lurus. Biar bisa ikut berperan dalam meluruskan negara Indonesia nih.”
R : “Iya, negara ni memang udah super bobroknya. Orangnya semua, gak pemerintah gak masyarakatnya, udah pada sakit. Cara paling efektif buat ngebagusin Indonesia tu ya satu, biar Indonesia kena tsunami dari sabang sampe merauke, terus semua orang pada mati. Nah... baru bisa ni negara diperbaiki.”
G : “Lah... Abang ikut mati juga”
Dari kecil orang-orang Indonesia udah diajarkan jadi pengecut. Coba, dulu pas sekolah Gie diajarin apa? Indonesia dijajah selama beratus-ratus tahun. Bayangkan ada orang dijajah selama itu, ya kita ini. Bodoh gak tuh?”
G : “Tapi abis itu kan kita bisa merdeka sendiri, Bang. Pake usaha sendiri ngusir penjajah.”
R : “Nah itu. Itu yang ditanamkan di otak setiap orang Indonesia sejak kecil. Kita dijajah ratusan tahun, terus kita berjuang dan merdeka. Dijajah ratusan tahunnya itu yang gak bisa dianggap enteng. Tau apa kesalahan terbesar yang membuat Indonesia jadi semrawut kayak sekarang ini?”
Saya menggeleng bahkan sebelum saya berusaha memikirkan jawabannya.
R :
“Kesalahan terbesar Indonesia adalah MERDEKA.
Lihat Malaysia tuh, memang merdeka-nya mereka berbeda dengan merdeka-nya kita. Kita sering ngejek mereka, bilang merdeka-nya mereka itu hasil pemberian, merdeka hadiah dari penjajah. Tapi memangnya apa yang bisa kita banggakan dari kemerdekaan kita ini? Kita gak lebih bagus dari Malaysia. Kita memang kaya.Tapi kaya saja.”
G :
“Ibaratnya orang punya ladang emas luas berhektar-hektar tapi cuma dikasih pagar kayu lapuk, trus cuma dijaga ama satpam2 yang kerjanya tidur.
Dulu Gie juga pernah baca (lupa di mana), negara ini kayak balita yang disuruh hidup sendiri. Seharusnya kita masih dipimpin ama seorang otoriter, karena sebenarnya untuk merdeka itu masyarakat kita masih belum tau apa-apa.”
R: “Lebih tepatnya lagi, seharusnya kita jangan merdeka dulu.”
G: “Tapi kalo gak merdeka kita terus dijajah dong, Bang”
R: “Loh? Sekarang memangnya kita ini gak lagi dijajah? Lebih parah lagi. Kekayaan kita dicomot sana-sini. Siapa yang peduli? Selagi duit bisa masuk kantong pribadi, Indonesia mau jadi apa gak ada urusan. Masih mending dulu pas Belanda ngejajah kita,logikanya aja,
kita ini ladangnya Belanda. Mana mungkin dia mau ladangnya rusak. Orang kalau punya ladang, malah usahanya lebih banyak ke ladang itu daripada rumahnya sendiri.
Iya, kan? Lihat Malaysia itu, jadi bagus begitu siapa yang buat? Ya yang ‘empunya’ mereka. Kalau ada masalah apa-apa, mereka bisa minta bantuan dan diskusi sama ‘pemilik’ mereka. Nah kita? Orang masih balita aja sok merdeka, sok mandiri, punya harta tapi gak pandai ngolahnya. Ya abis gitu-gitu aja dimanfaatin kiri-kanan. Coba kalo kita belum merdeka, makmur kita. Dimakmurkan ama ‘yang lebih dewasa’ dari kita. Belanda.
Gak usah cerita soal harga diri lah... orang ‘anak kecil’ aja ngomong harga diri.
Nanti, kalo udah pinter, kalo udah pandai ngolah dan ngejaga kekayaan sendiri baru ngomong merdeka, baru ngomong harga diri.”
Saya cuma bisa diem sambil mikir kalau itu semua ada benernya juga.
R: “Orang Indonesia ini udah salah dari awal. Apa yang kita tau soal sejarah? Dari yang diajarkan di sekolah? Dari buku? Sekarang kita berpikir sendiri aja, kenapa kita bisa diperlakukan sebagai negara terjajah selama ratusan tahun? Kenapa kita bisa dimanfaatkan begitu?
Belanda gak bakal mau tanah Indonesia ini hancur. Rugi mereka. Dari awal niat Belanda ke sini untuk berdagang,
dia lihat kita kaya, tapi terus dia lihat orang-orang kita yang memang dari dulunya senang menjilat sana kemari, banyak rakyat Indonesia yang dulu jadi bawahan Belanda dan jadi penjilat. Belanda lihat kita mudah disuap, mudah dimanfaatkan, mudah diadu domba. Ada peluang didepan mata, ya Belanda senang-senang aja.
Ibaratnya ada orang kaya tapi bego. Ya kita ini. Sampai sekarang begonya gak ilang-ilang.”
Aduuhh... sedihnya saya mendengar perkataan Bang Rozy. Tapi saya tak bisa menyanggahnya. Apa yang dikatakannya memang benar. Sangat masuk akal.
R: “Indonesia sampe sekarang masih berkutat dengan permasalahan itu-itu aja, KKN. Negara gak maju-maju. Ya karena orang Indonesia itu ngomong baik cuma pas dibawah.
Orang yang ‘di atas’ korupsi, yang dibawah ngantri mau naik, niat awalnya sih mungkin bagus. Tapi pas ada di atas, silau.
Pemerintah itu kerjanya apa? Ngomong baik cuma karena belum lihat duit aja. Masyarakatnya pun sama, ngomong bla-bla-bla tapi kalo disodorin duit ya diem juga. Itu karena kita memang udah terlatih untuk begitu.”
G: “Mental-mental terjajah ya, Bang.”
R: “Iya, mental terjajah. Mental pengecut. Sekarang siapa yang mau kita harapkan? Jokowi? Tau apa kita tentang dia? Solo itu kecil, mana bisa dibandingkan dengan Indonesia yang luas dengan permasalahan kompleks yang gak habis-habis. Dia baru naik jadi gubernur ibukota, kerjanya bagus, orang lihat dia bagus, terus langsung heboh nyuruh dia jadi presiden.
Masih aja bego orang Indonesia ini. Semua posisi itu diciptakan karena memang ada orang-orang yang sudah cocok untuk mengisi posisi itu.
Habibie, pinter, jenius, tapi bidangnya apa? Kok ya malah jadi presiden? Kan gak cocok. Deddy Mizwar itu bagus, karya-karyanya bermanfaat dan idealis. Tapi kok ya malah mau ikut-ikutan jadi pemerintah daerah? Masuk politik. Kemauan sendiri atau disuruh ama lingkungan? Tetap aja itu udah melenceng namanya.
G: “Iya juga. Deddy Mizwar alih profesi, terus siapa gantinya yang ngisi posisi dia? Gak ada. Kosong. Si KK Dheraj ama kawan-kawannya yang sekarang makin kaya bikin film semi porno gak mutu, bikin film cinta-cintaan gak ada isi. Terpaksa ditonton juga ama orang Indonesia, gara-gara kencan ama cowoknya gak ada tujuan lain selain ke bioskop.”
R: “Bodoh, kan?Bodoh kita ini. Gak bisa kita maju kalo cara berpikirnya begitu terus. Lihat orang bagus langsung disuruh jadi pemimpin. Ya dilihat porsinya dong, keahliannya, bidangnya apa. Iya, kan? Sekarang si Jokowi itu di dewa-dewakan jadi presiden. Dia itu ‘kan di partai. Pokoknya orang yang naik jadi presiden kalo melalui partai ya jangan harap lah... naiknya aja didorong sana-sini, pas udah di atas ya mesti balas budi dulu. Jadi pemimpin ngebonceng banyak kepentingan lain. Mau jadi apa negara yang dipimpinnya.”
G: “Menurut Abang, gak ada harapan juga dia tuh?”
R: “Bukan gak ada harapan...”
G: “Belum saatnya dia naik ya.”
R: “Iya. Itu juga. Terus, ya kalo bisa, jangan lewat partai. Sama aja nanti jadinya.”
G: “Iya bang, ya. Eh, ngomong-ngomong. Kemaren dekat sini ada razia loh, bang. Banyak banget anak sekolah yang ketangkep. Itu waktu heboh berita anaknya Ahmad Dhani nabrak orang. Razia dimana-mana.”
R: (tertawa) “Hangat-hangat ta* ayam aja tuh. Tengok sekarang, mana ada lagi rajia kan? Nanti kalo ada kejadian lagi, baru sibuk bikin rajia lagi. Gitu terus. Indonesia.”
Ah~
Mirisnya. Negara yang kucintai dan kubanggakan ini.
Sakit sebenarnya mendengar pernyataan buruk mengenaimu, Ibu Pertiwiku.
Tapi tak dapat disangkal. Apa yang kucintai ini memang begitulah adanya. Dan entah berapa lama lagi aku bisa mengambil peran nyata untuk turut serta dalam perbaikan dirimu,
Wahai tanah airku tercinta...