Tampilkan postingan dengan label special. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label special. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 19 Oktober 2013

“Kesalahan Terbesar Indonesia Adalah MERDEKA”

Obrolan Berkelas Mulai dari PNS, Nilai Kemerdekaan, Malaysia, Jokowi, sampai ke si Dul.



5 Oct 2013

Pagi ini saya sedang dalam perjalanan menjemput kakak saya yang baru pulang dari Jakarta, dimobil saya bersama dengan abang sepupu saya, Bang Rozy namanya. Awalnya kami cuma membicarakan hal-hal sepele soal pekerjaan. Bang Rozy saat ini berprofesi sebagai penarik bentor (becak motor) di Medan, kalau dipikir-pikir, sebenarnya dia punya cukup banyak koneksi jika ingin bekerja di suatu tempat yang ia inginkan. Yah... kita tahu sendirilah, zaman sekarang kalau mau bekerja, koneksi adalah yang paling utama dibutuhkan jika ingin jalannya cepat dan mulus, kecuali Anda benar-benar Outstanding. Tapi, biar bagaimanapun, semoga kita terlindung dari hal-hal yang seperti itu ^^

Bang Rozy (Selanjutnya akan disebut R) : “Gak kepengen jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Gie?”

Saya (Selanjutnya akan disebut G): “Udah nyoba, bang. Belum rejeki.”

R : “Emang cita-citanya mau jadi PNS?”

: (tertawa) “Nggak sih, cuma dulu mama pernah bilang kalau dia udah cukup senang seandainya bisa ngeliat Gie pake baju PNS dan kerja di pemerintahan”

R : “Iya, orangtua emang senangnya begitu. Ngeliat anaknya kerja yang rapi, dapat gaji pasti tiap bulan.”

G : “Tapi kalau Gie sih, jadi PNS itu pilihan terakhir.”

R : “Kenapa?”

G : “Yah... Abang lihat aja lah tingkah PNS yang ada. Gie mulai males lihat PNS sejak dulu pas mau ngurus KTP, yaelah... kerjanya enak banget. Bergosip di kantor, potong duit sana potong duit sini. Buat surat selembar aja ngomong ‘seikhlasnya’ alasan untuk uang jalan bla-bla-bla... lebih parah lagi kalo ada yang gak sopan. Orang datang nanya baik-baik, dijawab ‘pake urat’. Kayak kerjanya paling capek aja. Padahal kan PNS itu pelayan. Pelayan masyarakat. Yang gaji mereka itu masyarakat. Masa’ ama majikan sendiri gak hormat”

R : (tertawa) “Keenakan dapat duit mereka itu. Kalo jadi PNS memang susah, susahnya karena sekeliling udah rata-rata pada begitu. Kita mau gak mau jadi ikutan begitu. (Red: Jadi orang waras di antara orang gila itu jadinya kayak kita yang gila dan mereka yang waras). Kalau kita nolak, bisa gak bahagia hidup kita selama kerja jadi PNS. Abang makanya malas, biar kerja apa juga asal jangan jadi PNS. Dikutuk sana-sini, kalo sampe lebih dari 40 orang yang ngutuk kita, bisa jadi kenyataan kan berabe” (tertawa) “Lah... kamunya terus pengen jadi apa sebenarnya?”

G: “Anggota KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)”

R : “Ha, bagusitu. Udah pernah nyoba?”

Saya sebenarnya agak heran juga melihat reaksi Bang Rozy yang tidak menertawakan saya saat saya bilang saya ingin menjadi anggota KPK. Karena biasanya orang akan mendengar cita-cita itu seperti candaan, meskipun saya mengatakannya dengan cukup serius.

G: “Kemaren lihat web-nya buka lowongan, tapi umur mesti 28 tahun ke atas (red: saya masih 24tahun)”

R: “Ya... untuk sementara cari pengalaman dulu. Jadi PNS aja dulu, gak ada salahnya juga. Paling nggak ada lah beberapa orang dari PNS yang masih 'lurus'.”

G: (tertawa)“Abang ngomongnya kayak yang gampang banget gitu mau jadi PNS”

R : “Kenapa pengen jadi anggota KPK?”

G : “Mau coba gabung ama orang-orang yang ‘katanya’ lurus. Biar bisa ikut berperan dalam meluruskan negara Indonesia nih.”

R : “Iya, negara ni memang udah super bobroknya. Orangnya semua, gak pemerintah gak masyarakatnya, udah pada sakit. Cara paling efektif buat ngebagusin Indonesia tu ya satu, biar Indonesia kena tsunami dari sabang sampe merauke, terus semua orang pada mati. Nah... baru bisa ni negara diperbaiki.”


: “Lah... Abang ikut mati juga”

R : “Gak masalah. Memang sedikit banyak kita semua ini udah ikut tercemar. Bedanya cuma karena kita 'nyadar' aja. 
Dari kecil orang-orang Indonesia udah diajarkan jadi pengecut. Coba, dulu pas sekolah Gie diajarin apa? Indonesia dijajah selama beratus-ratus tahun. Bayangkan ada orang dijajah selama itu, ya kita ini. Bodoh gak tuh?”

G : “Tapi abis itu kan kita bisa merdeka sendiri, Bang. Pake usaha sendiri ngusir penjajah.”

R : “Nah itu. Itu yang ditanamkan di otak setiap orang Indonesia sejak kecil. Kita dijajah ratusan tahun, terus kita berjuang dan merdeka. Dijajah ratusan tahunnya itu yang gak bisa dianggap enteng. Tau apa kesalahan terbesar yang membuat Indonesia jadi semrawut kayak sekarang ini?”

Saya menggeleng bahkan sebelum saya berusaha memikirkan jawabannya.

R : 
Kesalahan terbesar Indonesia adalah MERDEKA.
Lihat Malaysia tuh, memang merdeka-nya mereka berbeda dengan merdeka-nya kita. Kita sering ngejek mereka, bilang merdeka-nya mereka itu hasil pemberian, merdeka hadiah dari penjajah. Tapi memangnya apa yang bisa kita banggakan dari kemerdekaan kita ini? Kita gak lebih bagus dari Malaysia. Kita memang kaya.Tapi kaya saja.”

G : 
Ibaratnya orang punya ladang emas luas berhektar-hektar tapi cuma dikasih pagar kayu lapuk, trus cuma dijaga ama satpam2 yang kerjanya tidur
Dulu Gie juga pernah baca (lupa di mana), negara ini kayak balita yang disuruh hidup sendiri. Seharusnya kita masih dipimpin ama seorang otoriter, karena sebenarnya untuk merdeka itu masyarakat kita masih belum tau apa-apa.”

R: “Lebih tepatnya lagi, seharusnya kita jangan merdeka dulu.”

G: “Tapi kalo gak merdeka kita terus dijajah dong, Bang”

R: “Loh? Sekarang memangnya kita ini gak lagi dijajah? Lebih parah lagi. Kekayaan kita dicomot sana-sini. Siapa yang peduli? Selagi duit bisa masuk kantong pribadi, Indonesia mau jadi apa gak ada urusan. Masih mending dulu pas Belanda ngejajah kita,logikanya aja, 
kita ini ladangnya Belanda. Mana mungkin dia mau ladangnya rusak. Orang kalau punya ladang, malah usahanya lebih banyak ke ladang itu daripada rumahnya sendiri
Iya, kan? Lihat Malaysia itu, jadi bagus begitu siapa yang buat? Ya yang ‘empunya’ mereka. Kalau ada masalah apa-apa, mereka bisa minta bantuan dan diskusi sama ‘pemilik’ mereka. Nah kita? Orang masih balita aja sok merdeka, sok mandiri, punya harta tapi gak pandai ngolahnya. Ya abis gitu-gitu aja dimanfaatin kiri-kanan. Coba kalo kita belum merdeka, makmur kita. Dimakmurkan ama ‘yang lebih dewasa’ dari kita. Belanda. 
Gak usah cerita soal harga diri lah... orang ‘anak kecil’ aja ngomong harga diri. 
Nanti, kalo udah pinter, kalo udah pandai ngolah dan ngejaga kekayaan sendiri baru ngomong merdeka, baru ngomong harga diri.”

Saya cuma bisa diem sambil mikir kalau itu semua ada benernya juga.

R: “Orang Indonesia ini udah salah dari awal. Apa yang kita tau soal sejarah? Dari yang diajarkan di sekolah? Dari buku? Sekarang kita berpikir sendiri aja, kenapa kita bisa diperlakukan sebagai negara terjajah selama ratusan tahun? Kenapa kita bisa dimanfaatkan begitu? 
Belanda gak bakal mau tanah Indonesia ini hancur. Rugi mereka. Dari awal niat Belanda ke sini untuk berdagang
dia lihat kita kaya, tapi terus dia lihat orang-orang kita yang memang dari dulunya senang menjilat sana kemari, banyak rakyat Indonesia yang dulu jadi bawahan Belanda dan jadi penjilat. Belanda lihat kita mudah disuap, mudah dimanfaatkan, mudah diadu domba. Ada peluang didepan mata, ya Belanda senang-senang aja. 
Ibaratnya ada orang kaya tapi bego. Ya kita ini. Sampai sekarang begonya gak ilang-ilang.”

Aduuhh... sedihnya saya mendengar perkataan Bang Rozy. Tapi saya tak bisa menyanggahnya. Apa yang dikatakannya memang benar. Sangat masuk akal.


R: “Indonesia sampe sekarang masih berkutat dengan permasalahan itu-itu aja, KKN. Negara gak maju-maju. Ya karena orang Indonesia itu ngomong baik cuma pas dibawah. 
Orang yang ‘di atas’ korupsi, yang dibawah ngantri mau naik, niat awalnya sih mungkin bagus. Tapi pas ada di atas, silau.
Pemerintah itu kerjanya apa? Ngomong baik cuma karena belum lihat duit aja. Masyarakatnya pun sama, ngomong bla-bla-bla tapi kalo disodorin duit ya diem juga. Itu karena kita memang udah terlatih untuk begitu.”

G: “Mental-mental terjajah ya, Bang.”

R: “Iya, mental terjajah. Mental pengecut. Sekarang siapa yang mau kita harapkan? Jokowi? Tau apa kita tentang dia? Solo itu kecil, mana bisa dibandingkan dengan Indonesia yang luas dengan permasalahan kompleks yang gak habis-habis. Dia baru naik jadi gubernur ibukota, kerjanya bagus, orang lihat dia bagus, terus langsung heboh nyuruh dia jadi presiden. 
Masih aja bego orang Indonesia ini. Semua posisi itu diciptakan karena memang ada orang-orang yang sudah cocok untuk mengisi posisi itu. 
Habibie, pinter, jenius, tapi bidangnya apa? Kok ya malah jadi presiden? Kan gak cocok. Deddy Mizwar itu bagus, karya-karyanya bermanfaat dan idealis. Tapi kok ya malah mau ikut-ikutan jadi pemerintah daerah? Masuk politik. Kemauan sendiri atau disuruh ama lingkungan? Tetap aja itu udah melenceng namanya.

G: “Iya juga. Deddy Mizwar alih profesi, terus siapa gantinya yang ngisi posisi dia? Gak ada. Kosong. Si KK Dheraj ama kawan-kawannya yang sekarang makin kaya bikin film semi porno gak mutu, bikin film cinta-cintaan gak ada isi. Terpaksa ditonton juga ama orang Indonesia, gara-gara kencan ama cowoknya gak ada tujuan lain selain ke bioskop.”

R: “Bodoh, kan?Bodoh kita ini. Gak bisa kita maju kalo cara berpikirnya begitu terus. Lihat orang bagus langsung disuruh jadi pemimpin. Ya dilihat porsinya dong, keahliannya, bidangnya apa. Iya, kan? Sekarang si Jokowi itu di dewa-dewakan jadi presiden. Dia itu ‘kan di partai. Pokoknya orang yang naik jadi presiden kalo melalui partai ya jangan harap lah... naiknya aja didorong sana-sini, pas udah di atas ya mesti balas budi dulu. Jadi pemimpin ngebonceng banyak kepentingan lain. Mau jadi apa negara yang dipimpinnya.”

G: “Menurut Abang, gak ada harapan juga dia tuh?”

R: “Bukan gak ada harapan...”

G: “Belum saatnya dia naik ya.”

R: “Iya. Itu juga. Terus, ya kalo bisa, jangan lewat partai. Sama aja nanti jadinya.”

G: “Iya bang, ya. Eh, ngomong-ngomong. Kemaren dekat sini ada razia loh, bang. Banyak banget anak sekolah yang ketangkep. Itu waktu heboh berita anaknya Ahmad Dhani nabrak orang. Razia dimana-mana.”

R: (tertawa) “Hangat-hangat ta* ayam aja tuh. Tengok sekarang, mana ada lagi rajia kan? Nanti kalo ada kejadian lagi, baru sibuk bikin rajia lagi. Gitu terus. Indonesia.”

Ah~
Mirisnya. Negara yang kucintai dan kubanggakan ini.
Sakit sebenarnya mendengar pernyataan buruk mengenaimu, Ibu Pertiwiku.
Tapi tak dapat disangkal. Apa yang kucintai ini memang begitulah adanya. Dan entah berapa lama lagi aku bisa mengambil peran nyata untuk turut serta dalam perbaikan dirimu,

Wahai tanah airku tercinta...

Rabu, 11 September 2013

Novel New Entri (Penerbit Kana Media - www.galangpress.com )

"...EGA"



Aku merasa tidak nyaman kalau ada orang lain di dekatku. Aku sudah terbiasa sendirian, aku suka sendirian. Karena waktu sendiri aku tak perlu memikirkan apa yang akan aku dan orang lain katakan. 
Pertemuan yang Tak Terduga  (Page 27)

Apa yang mereka sebut Tuhan itu juga tidak pernah melihatku. Dia tidak pernah menemukanku di antara sekian banyak makhluk yang sudah diciptakanNya. Dia sudah melupakanku.
Hujan (Page 41)

Kadang terpikir olehku, kalau Tuhan itu memang ada, apa mungkin Dia terlalu sibuk mengatur semua ini? Menenggelamkan matahari pada waktunya,menerbitkannya lagi besok, dan melakukan hal-hal rumit lainnya, sehingga Dia tak sempat melakukan perbaikan sekecil apa pun dalam hidupku.
Kenapa Harus Memaafkan? (Page 78)

Aku tak penah meminta orang lain untuk membantuku, jadi aku juga tak punya kewajiban untuk membantu orang lain. Aku tidak mau terlibat dengan siapapun,karena mereka semua bisa menghilang dan pergi kapan saja, dan aku tidak mau merasakan sakit karena ditinggalkan lagi. Aku tidak mau.
Mungkin Tuhan Sudah Meninggalkanku (Page 115)

Aku tahu dia menangis tapi aku sama sekali tak berniat meredakan tangisannya. Dari awal saja dia sudah salah. Siapa suruh menyukaiku? Aku bukan orang yang bisa menyenangkan hati orang lain. Aku bukan orang yang bisa menjamin dia akan bahagia kalau aku membalas rasa sukanya. Aku tidak mengerti dengan hal-hal seperti itu dan aku tak mau memikirkannya.
Ketika Cinta Menyapa (Page 110)

Sabtu, 09 Juni 2012

Tips buat kuliah di Australia gratissss!!!! (ADS)

Nama scholarshipnya:
Australian Development Scholarship (ADS).

 Setiap tahunnya, Pemerintah Australia mensponsori 300 warga Negara Indonesia belajar di Australia melalui ADS.
Sebanyak 200 orang akan dipilih dari sektor publik (PNS) dan 100 orang lainnya akan dipilih dari sekotor privat (non-PNS) untuk melanjutkan ke program Master atau PH.D degree ke berbagai universitas di Australia.

Kriteria Pelamar ADS (versi pendek):
- WNI dan Bukan PR di Australia.
- Tdk mendapat beasiswa dr Australia selama 12 bulan terakhir.
- IPK 2,9 dan IELT minimal 5,0 atau TOEFL institusional 500.
- Bersedia mengikuti pelatihan bahasa inggris secara full time sebelum berangkat ke Australia.
- Mempunyai ijasah S1 (buat yg melamar master) dan S2 (untuk Doktor).
- Berusia kurang dari 42 tahun.

Biaya yang ditanggung & Fasilitas:

Sebelum Berangkat:
1. Kursus Bahasa Inggris di IALF (Jkt, Surabaya atau Bali) = dari 6 minggu sampai 9 bulan
2. Uang saku selama Kursus = Kalo nggak salah sekitar Rp. 1,5 - 2 juta per bulan.
3. Test IELTS ulangan.

di Australia:
1. Tuition Fee University (Biaya kuliah) = Mau di univesitas mahal atau murah, semua ditanggung tanpa ada perbedaan. Disini termasuk biaya2 lainnya seperti lab, dll.

2. Living Cost = Jaman ane dulu dikasih AUD$ 1500 atau AUD$ 2000 (buat yang berkeluarga), kalo sekarang kalo nggak salah sekitar AUD 1800 - 2000 (single atau family). Dibayar per dua minggu ke rekening bank kita

3. Establishment allowance = Ini dibayar sekali pas kita nyampe, utk bayar deposit rumah, dll. Kalo nggak salah sekarang dikasih AUD$ 5000 (ini diluar living cost allowance).

4. Transport = Tiket pesawat Indonesia- Australia PP

5. Tutor fee = Biaya untuk sewa tutor kalo kita kesulitan di subject yg kita pilih. Kalo nggak salah biayanya AUD500/Subject

6. ALO & Mentor = Di tiap Universitas akan ada ALO (liasion officer) yang mengurusin masalah kita (dari mulai ribut sama dosen sampe patah hati). Selain itu akan ada mentor di awal kita dateng untuk bantu kita cari rumah, buka rekening, dll.

Ini lebih dari cukup, kalo mau nabung untuk beli rumah nanti bisa part time. Rate part time rata-rata AUD$ 7 - 12 per jam, maksimun 20 jam per minggu.

Siklus Beasiswa

- Pendaftaran biasanya dibuka bulan April- Juli setiap tahunnya.
- Penutupan biasanya bulan September - Oktober.
- Panggilan interview biasanya dikirim bulan Desember.
- Interview biasanya pertengahan Januari
- Pengumuman akhir biasanya pertengahan Februari.
- Start Pendidikan (6 minggu) biasanya akhir Maret- April dan berangkat ke Aussie Juni-July
- Start Pendidikan (3,6 dan 9 bulan) = start biasanya bulan May - Oktober/November dan berangkat ke Aussie bulan Januari awal tahun depannya.


Untuk Info lebih lanjut dan download aplikasi silakan lihat: http://adsindonesia.or.id/index.php

Sekilas keliatan kriterianya cukup tinggi (terutama masalah akademik dan bahasa inggris), tapi sebenarnya ini sama sekali bisa kita atasi: mari kita bahas satu2:

A. Seleksi tahap 1.

1. IPK 2,9.

Ini mungkin berat bagi Universitas yang dosennya pelit nilai. Tapi sebenarnya ini bukan syarat utama.
2. IELTS 5.0 ata TOEFL INSTITUTIONAL500.

Kunci disini adalah TOEFL Institutional (TI). TI bukanlah TOEL resmi yang harganya mahal dan soalnya biasanya lebih susah. TI banyak tersedia dimana-mana dengan harga yang murah dan tingkat kesulitan yang relatif rendah. Ingat disini nantinya anda akan diberi pelatihan bahasa inggris lagi (lamanya tergantung nilai anda). Jadi sebenarnya focus dari ADS bukan untuk mencari orang yang pintar bahasa Inggris tetapi orang yang memiliki dasar bahasa Inggris. Selain itu TOEFL ini dapat dipelajari dan dilatih, anda bisa mendapat nilai TOEFL yang lumayan walaupun dengan kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan.

TIPS No.2 = Cari TOEFL institutional dr lembaga pendidikan bhs inggris yang murah dan memiliki tingkat kesulitan yang rendah. Biasanya beberapa lembaga bhs inggris hanya memiliki soal TOEFL yang terbatas. Sehingga dengan mengikuti beberapa kali, kesempatan anda untuk mencetak skor yang tinggi cukup besar. Sekali lagi, nanti anda akan diberi pendidikan bhs inggris (mulai dari 6 minggu sampai 9 bln), jadi tenang saja kalo bhs inggris anda pas2an.

3. FORMULIR PENDAFTARAN.

Disini anda musti jeli dan cerdik. ADS menyediakan 4 bidang yang dapat anda pilih. Sebenarnya 4 bidang ini cukup luas, sehingga anda bisa menghubungkannya dengan pilihan studi anda (dari MBA sampai Pertanian). Yang perlu anda perhatikan adalah kaitan bidang studi dan target yang ingin anda capai dengan kemajuan Indonesia. Selain itu pilihlah bidang yang ada kepentingan Australia disitu (kepentingan tdk berarti selalu negatif yah).

Dalam mengisi jangan takut untuk bermimpi. Misalnya anda ingin jadi menteri, presiden, rector, dll. Tujuan utamanya adalah menunjukkan visi anda ke depan. Nantinya bidang studi ini bisa dirubah ketika anda sudah menerima beasiswanya (asal jgn ekstrem dari Kedokteran ke Tekhnik kimia).

TIPS NO.3: Banyak2lah baca berita masa kini dan ngaskus (karena kaskus banyak informasi berguna). Konsultasi dengan orang yang anda tahu menguasai bidang yang ingin anda pilih untuk bertanya isu-isu terkini di bidang tersebut. Ketika mengisi formulir lebih baik anda ketik dulu, baru setelah final, anda tulis tangan agar bersih dan rapi.

B. Tahap Kedua: Interview dan tes bahasa inggris
Setelah anda lulus tahap pertama, anda akan dikirim paket berisi surat dan buku panduan bidang study untuk dipelajari. Biasanya dalam waktu satu atau dia bulan anda akan dijadwalkan untuk interview dan tes bahasa inggris.

1. Saat Interview
Inilah adalah proses yang paling penting. Pastikan anda menyiapkan diri dengan baik. Pelajari baik-baik buku panduan study, sehingga anda benar-benar menguasai jawaban anda. Pertanyaan standarnya adalah:
- Kenapa pilih bidang study tersebut?
- Kenapa pilih Australia
- Rencana anda 5-10 tahun ke depan
- Apa yang akan anda buat setelah selesai pendidikan.
Usahakan betul anda menguasai jawaban dari pertanyaan diatas. Buatlah skema pertanyaan dan jawaban sehingga andalah yang akan mendrive interviewnya. Contohnya: kalo jawaban no.1 adalah A, maka kemungkinan besar pertanyaan lanjutannya adalah B,C atau D. Nah, anda siapkan jawaban dari B, C, dan D tersebut. begitu seterusnya, sehingga anda yang mengontrol proses interview tersebut.

Tips NO.4 : Berpakaian rapi, istirahat yang cukup agar tidak nervous. Skema jawaban sebaiknya diketik, sehingga pada saat interview ada punya waktu untuk mereview jawaban. Kalo anda punya tulisan, buku, atau karya2 anda lainnya, jangan lupa di bawa dan cari kesempatan untuk menunjukkannya ke interviewer (kalo tidak ditanya).

2. IELTS

Syarat minimun untuk mendapatkan beasiswanya adalah anda harus lulus ujian IELTS yang mereka selenggarakan minimal dengan skor 5.0 (equivalent TOEFL 500). Perlu di ingat kalau IELTS mempunyai sistem yang sangat berbeda dengan TOEFL. Kuasai cara menjawabnya dan jenis soalnya dengan baik (banyak buku2 IELTS di gramedia). Tes IELTS juga ada interview (speaking) di bagian terakhir. Jadi, siapkan mental anda baik-baik dan berpakaianlah yg sepantasnya agar impresion dr si interviewer bagus ke anda.

Tujuan dari test IELTS ini sebenarnya adalah penempatan pendidikan bhs inggris. Jika anda berhasil mendapat IELTs 5.0, anda akan di tempatkan di kelas 9 bulan. Jika IELTS anda 5.5 = 6 bulan, begitu seterusnya. Bagi yang sudah mendapat IELTS 6.5/7 keatas, anda akan mendapat pendidikan selama 6 minggu.

TIPS NO.5 : Kuasai benar jenis soal dan tips untuk menjawab soal IELTS (ingat IELTS sangat berbeda dengan TOEFL). Beli buku latihan di gramedia dan berlatihlah setiap hari. Istirahat yang cukup, berpakaian yang pantas (utk interview) dan sarapan sebelum ujian (karena tesnya lama).

3. PENDIDIKAN BHS INGGRIS

Setelah mendapat beasiswa, anda akan diberikan pendidikan bhs inggris tergantung hasil tes IELTS anda seperti diatas. Selama pendidikan anda akan diberi uang saku (sekitar 1,5 juta perbulan) dan anda wajib mengikuti pelatihan senin-jumat dari jam 9 pagi- 4 sore. Pelatihan meliputi pendidikan bahasa inggris akademik, pengenalan budaya Australia dan pendidikan komputer (word, excel, presentasi,dll).

Selama masa ini anda juga diwajibkan untuk memilih univ & bidang study anda. Seluruh proses aplikasi dan visa akan dibantu oleh ADS. Carilah informasi sebanyak-banyaknya agar anda dpt menentukan universitas dan bidang study yang pas. Anda akan diminta memilih 3 universitas sesuai dengan ranking. Berhati-hati dengan ini, karena kalau anda tidak diterima di universitasnya, beasiswa anda bisa dibatalkan.

Diakhir masa pendidikan, akan ada test IELTS lagi untuk memenuhi standar penerimaan di universitas pilihan anda. Anda akan diberikan kesempatan sekali lagi untuk tes jika gagal. Setelah itu, kalo tidak ada universitas mau menerima anda, beasiswa anda akan dibatalkan.

Jaga kesehatan baik-baik. Salah satu persyaratan visa adalah tes kesehatan. Pastikan anda dalam keadaan sehat dan fit sebelum tes.

TIPS NO.6 = Ikutin pendidikan dengan baik (jangan keseringan bolos karena bisa di batalkan beasiswa). Cari informasi sebanyak-banyaknya melalui seminar atau join ke milis AUSAID atau PPIA untuk minta saran bagi yang sudah terlebih dahulu disana.

sumber: murni copy-paste dari Ardi.Widodo (kaskus holic)
courtesy of KASKUS :)

- semoga bermanfaat ya, gan -

MENJADI ANAK UNTUK IBUKU

[cerpen]

“Kenapa lagi mukamu itu?” tanyaku pada Hana yang hari ini wajahnya memar lagi. Aku benar-benar heran, apa saja sih yang dilakukan anak ini di rumahnya.

“Jatuh...,” katanya sambil tersenyum malu.

Alasan klise. Memangnya aku bodoh? Itu bukan memar karena jatuh, luka di sudut bibir begitu paling juga dipukul atau ditampar. Beberapa hari yang lalu lengannya memar, sebelumnya keningnya benjol, sebelumnya lagi pipinya tergores. Semua itu berawal sejak sebulan yang lalu, sejak orang tuanya bercerai.

Aku mencoba memancingnya ke pembicaraan itu. “Mamamu apa kabar?” tanyaku sambil mengeluarkan buku Fisika yang jadi mata pelajaran pertama hari ini.

“Baik,” dia masih menjawab dengan senyum dan duduk di kursi yang ada di sebelahku. “Mamamu?” dia malah balik bertanya dan kubalas dengan tatapan jengkel. Tapi dia hanya tertawa menanggapi kekesalanku.
Iya, seharusnya memang dialah yang paling tahu kalau mengungkit masalah Mamaku adalah hal yang tabu. Kami sudah berteman sejak kelas satu SMA – entah kebetulan apa yang membuat kami sekelas lagi tahun ini. Benar-benar tidak terasa, hampir tiga tahun kami jadi teman sekelas, dan rasanya kami tidak punya apapun lagi untuk dirasahasiakan.

Orang tua Hana bercerai sebulan yang lalu, dia anak tunggal dan ikut dengan Mamanya. Papanya pergi entah kemana – aku tak pernah berniat menanyakan kabar terbaru tentang Papanya itu. Lain masalahnya denganku, percaya atau tidak, Mamaku sejak setahun yang lalu resmi jadi pasien rumah sakit jiwa. Hebat, ‘kan? Aku sendiri tak percaya hal seperti ini akan menimpaku. Awalnya karena bayi berusia 6 bulan – calon adikku – yang dikandungnya keguguran, disusul dengan terbakarnya ruko tempat kami tinggal termasuk juga toko yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga kami di lantai satu. Habis. Tak bersisa. Aku tak menangis, karena aku tahu menangis itu tak berguna, sedikitpun tak membantu. Karena aku kuat makanya aku tak mau menangis. Tapi sepertinya Mama tidak begitu, dia tak bisa menerimanya.

Aku tak mengerti kenapa dia selemah itu? Maksudku, dia Mamaku ‘kan? Seharusnya dia tak boleh seperti itu. Seharusnya dia membantu Kak Yanti – satu-satunya saudara kandungku – yang selalu sibuk mencari kerja untuk membantu keuangan keluarga. Seharusnya dia menghibur Papa dan memberi semangat karena sejak kejadian kebakaran itu Papa selalu kelihatan lelah bekerja keras untuk membangun kembali usahanya. Seharusnya dia menopangku, anak perempuan 16 tahun yang bingung karena keluarganya tiba-tiba berantakan. Seharusnya dia ikut berperan memperbaiki kekacauan itu. Tapi tidak. Dia semakin memperburuk keadaan. Gara-gara dia masuk rumah sakit jiwa, aku dijauhi teman-temanku. Mereka selalu berbisik-bisik di belakangku. Mungkin mereka bertanya-tanya apakah kegilaan Mama itu penyakit keturunan, dan mungkin saja aku bisa histeris tiba-tiba kemudian menyerang mereka.

Mamaku itu memang sama sekali tak bisa diandalkan. Aku tak begitu ingat tepatnya sejak kapan dia mulai berubah, selalu melamun, tatapannya menerawang, dan dia sering berilusi, kemudian entah sejak kapan dia mulai menangis sendirian. Lalu dia terpaksa masuk rumah sakit karena dia mulai menyerang orang yang mendekatinya, Papa, Kak Yanti, dan aku. Dia bahkan tak mengenali kami lagi, dia sudah melupakan kami. Melupakan aku yang sudah dikandungnya 9 bulan, yang sudah diberinya nama, yang dulu selalu dipeluknya sambil mengatakan kalau aku adalah buah hatinya.

Mamaku wanita yang lemah. Dari awal dia memang sudah begitu, orang tidak mungkin jadi gila kalau dia masih memiliki hal penting yang ingin dilindunginya. Dia jadi gila karena dia sudah melupakan semuanya, yang dia tahu hanya penderitaannya saja. Aku tak bisa terima dia yang seperti itu. Bagiku, sesuatu yang dilupakan adalah sesuatu yang tidak penting. Dan aku tak bisa terima kalau dia menganggapku tidak penting, aku tak bisa terima kalau dia melupakanku.

“Hana...,” rengekan seseorang membuyarkan lamunanku. Itu Nita, teman sekelas kami yang selalu punya masalah. Satu lagi orang lemah yang membuatku muak. Dia baru saja duduk di depan kami dan memasang tampang sedih.

“Kenapa lagi? Wandi bikin masalah?” tanya Hana yang entah kenapa selalu sabar mendengarkan keluh kesah Nita.

“Wandi? Anak siapa lagi itu?” celetukku sambil melempar pandangan keluar jendela. Setiap kali si Nita ini mencari Hana, dia pasti curhat. Dan selalu saja tentang hal-hal sepele yang sama sekali tidak penting. Evan, Ryan, Ali, Yudi, Wandi, dan entah siapa lagi nanti yang akan disebutnya.

“Ih... Mia diam saja, deh,” katanya setengah kesal padaku dan aku membalasnya dengan ekspresi seperti orang mau muntah – tapi aku memang mau muntah mendengar suaranya yang sok manja itu. “Iya Hana, si Wandi itu...,” dia memulai aksi curhat gila-gilaannya. “Cemburuan banget. Lama-lama aku nggak tahan lagi pacaran sama dia.”

“Ya putus saja,” kataku cepat sebelum Hana sempat membuka mulut.

“Tapi aku sayang sama dia,” kali ini Nita bicara padaku.

“Ya sudah jangan putus,”

“Tapi sifatnya Wandi itu nyebelin...”

“Ya putusin saja,”

“Apaan, sih?! Kalau nggak niat, Mia nggak usah ikut-ikutan komentar, dong,” akhirnya dia kesal juga karena aku tak memberi kesempatan Hana bicara untuk memberi solusi padanya. “Aku ‘kan lagi cerita sama Hana,” katanya lagi.

Baiklah, cewek manja. Aku muak.
“Dengar, ya!” emosiku mulai tak terkendali. “Jangan kira di dunia ini cuma kau yang punya masalah! Setiap kali kau mencari Hana pasti cuma mau menjadikannya tong sampah yang menampung semua keluhanmu. Seharusnya kau sisakan sedikit tempat di kepalamu itu untuk hal-hal yang lebih penting daripada sekedar masalah sepele!”

Wajahnya mendadak memerah, si centil yang merasa bisa pacaran dengan cowok satu sekolah itu sepertinya akan menangis, entah karena kesal padaku atau malu karena semua yang kukatakan tadi tepat – mungkin dua-duanya. Matanya mulai berair, dia menangis, orang lemah memang taunya cuma menangis saja. Hana baru akan membuka mulut untuk menghiburnya, tapi Pak Dori sudah berada di depan pintu dan memecahkan semua perhatian yang tadi terpusat pada kami bertiga. Nita terlihat masih kesal tapi dia terpaksa kembali ke tempat duduknya sambil mengusap pipinya dan menelan bulat-bulat semua perkataanku tadi.

***

“Mau marah sampai kapan, sih?!” kataku jengkel pada Hana yang melangkah cepat semeter di depanku saat kami dalam perjalanan pulang siang ini.

“Aku tidak marah,” tegasnya tanpa menatapku. Tidak marah tapi langkahnya cepat begitu, dia bahkan tak membiarkanku berjalan disebelahnya.

“Kalau tidak marah kenapa dari tadi gak mau ngomong sama aku? Jangan konyol, deh. Masa’ gara-gara si genit Nita itu kita sampai bertengkar.”

“Aku tidak marah,” akhirnya dia berbalik menatapku. “Aku cuma kesal. Kau dari dulu selalu begitu. Makanya cuma aku yang bisa jadi temanmu.”

“Setidaknya aku ‘kan tak pernah mengejarmu kemana-mana cuma untuk menceritakan tentang pacarku. Kau itu ya, jangan pasang tampang malaikat terus. Memangnya kau bisa mati kalau marah? Kalau kau seperti ini terus, kau bakalan selalu dimanfaatin sama orang lain. Yang kuat, dong. Jadi orang itu harus tegar. Kalau tidak suka bilang tidak. Kalau kesal ya marah saja. Hei, dengarin kalau orang lagi ngomong!” aku agak membentak di akhir kalimatku karena Hana berpaling dan memusatkan perhatiannya pada seseorang di ujung jalan.

“Mia, aku pulang duluan, ya,” dia berlari cepat meninggalkanku, sepertinya dia mengejar seseorang yang dilihatnya tadi.

Heh?! Mau memutus pembicaraan begitu saja? Jangan harap! Aku masih mau bicara, tahu!
Aku mengejarnya dan menemukannya sedang saling membentak dengan seorang wanita yang tak diragukan lagi, itu memang Tante Dian, Mamanya.

“Aku tidak beli. Minuman itu dikasih!” bentak wanita itu keras.

“Mama jangan bohong. Kita pulang saja, kita bicarakan di rumah,” Hana menarik lengan Mamanya dan langsung disentak keras.

“Kau jangan sok, ya! Anak kecil tahu apa?!”

“Banyak.” Jawabku begitu saja. “Maaf kalau saya ikut campur, Tante. Tapi kalau tidak mau disangka lagi shooting reality show, lebih baik kita bicara di rumah.”

***

Berantakan. Itu kata pertama yang terlintas di otakku saat melihat dapur rumah Hana. Meja makannya penuh sampah dan ada botol-botol minuman yang sudah kosong berserakan di sekitar washtafel. Itu botol minuman keras, tak perlu dijelaskan lebih lanjut.

“Sudah berapa kali Hana bilang, Mama jangan minum-minum lagi. Mau beli atau dikasih sekalipun tetap saja Mama tidak boleh minum alkohol,” keluh Hana sambil membereskan meja makannya. “Maaf ya, Mia. Berantakan. Tadi pagi aku tidak sempat membereskan rumah,” kali ini dia bicara padaku sambil masih mundar-mandir berusaha membuat ruangan itu kelihatan lebih baik dari kandang sapi.

Tante Dian duduk di kursi makan dan mulai menyalakan rokoknya. Wanita itu apa-apaan, sih? Padahal Hana baru pulang sekolah, tapi dia sudah harus beres-beres. Bahkan untuk mengelap keringat dan meletakkan tas saja Hana belum sempat.

“Sudah tahu keadaan di rumah lagi berantakan kamu seharusnya jangan ajak teman ke rumah, dong. Maaf ya Mia, sejak Papanya Hana pergi kami memang jadi lebih repot. Tante sering lembur dan Hana kadang tak bisa diharapkan. Hhh... keadaan rumah memang jadi kacau. Tante sendiri bingung harus bagaimana. Entah kenapa semuanya jadi terasa berat, mungkin karena baru satu bulan ya jadi single parent. Jadi masih belum terbiasa, memang sejak Papanya Hana pergi...”

“Mau sampai kapan mengasihani diri sendiri?” ups! Kata-kata ketus lagi dari mulutku. Dan sepertinya ada desakan aneh di kepalaku yang mengatakan: teruskan saja. Wanita ini memang harus diberi pelajaran, seperti si Nita.

“Mia...,”

“’Kami’ Tante bilang?” aku menyela kalimat Hana. Aku tak akan membiarkan dia menghentikanku. “Yang saya lihat tidak ada ‘kami’,” sambungku lagi. Wanita di hadapanku ini sama saja dengan Mamaku. Mereka lemah, terlalu sibuk mengasihani diri sendiri, sampai tak bisa melihat bahwa orang-orang di sekelilingnya juga menderita dan malah semakin menderita gara-gara sikap mereka yang suka lari dari kenyataan. Aku muak dengan orang-orang seperti ini.
“Jangan sembarangan, ya!” aku meledak. “Kalian tidak berjuang bersama-sama. Tante mempersulitnya!” akhirnya aku berteriak di depan Mamanya teman akrabku. “Hana sering terluka. Saya tahu Tante yang memukulnya!”

“Mia, Mama tidak sengaja...”

“Kau diam saja!” bagus, sekarang aku mulai membentak Hana. Mungkin aku sudah menderita neurosis, atau jangan-jangan aku sudah mulai gila seperti Mama. Tapi terserahlah, pokoknya aku hanya muak saja dengan mereka berdua ini. “Mau sengaja atau tidak, pokoknya dia melukaimu!” bentakku lagi. “Tante sadar dong! Yang perlu dilindungi itu siapa? Sebenarnya siapa Mamanya siapa dan siapa anaknya siapa? Jadi orang tua itu harus dewasa! Jangan lemah! Jangan merasa jadi orang yang paling menderita! Sedikit-sedikit mengeluh! Menyedihkan! Tante itu menyedihkan, tahu! Aku benar-benar muak melihat orang seperti Tante!”

“Diam!” teriak Hana bersamaan dengan mangkuk plastik yang mendarat di lengan kananku. Tidak keras, tapi cukup untuk membuat semua ocehanku berhenti. “Kau tidak punya hak marah-marah di sini. Kau tak punya hak menyudutkan Mamaku seperti itu. Lebih baik kau pulang saja!” teriaknya keras. “Sana pulang!” bentaknya lagi.

Sepertinya Tante Dian cukup shock mendengar omelanku tadi, rokoknya terjatuh di lantai dan dia membenamkan wajahnya di atas meja, pundaknya bergetar, dia menangis. Kurang ajar! Kenapa malah dia yang menangis. Seharusnya yang berhak menangis itu ‘kan Hana.

“Itu yang membuatku tidak tahan. Sifat lemahmu yang selalu mengalah itu membuatku muak! Mamamu ini harus dibuat sadar. Dia bukan satu-satunya orang yang jadi korban di sini. Dia tak boleh melupakanmu! Kau mengerti?! Dia tak boleh melepaskan tanggung jawab. Itu membuatku marah! Aku benci sikap lemahnya itu!”

“Dia Mamaku!” Hana berteriak histeris. Tangisannya pecah di ujung kalimatnya. “Dia Mamaku! Orang yang kau benci dan kau sebut lemah itu Mamaku! Dia Mamaku, dasar bodoh! Aku tidak terima kau bicara kasar pada Mamaku!” kali ini dia sudah berada disamping wanita itu dan memeluknya erat. “Dasar bodoh. Dasar Mia bodoh. Dia ini Mamaku, dia Mamaku.” Hana terus menangis

Detik berikutnya Tante Dian membalas pelukannya. “Maafkan Mama... Hana, Maafkan Mama...,” dan mereka saling berangkulan sambil menangis, sampai di ruangan itu hanya terdengar suara isakan mereka saja, hanyut dalam perasaan mereka saja...

***

“Dia Mamaku!”

Teriakan Hana tadi siang masih bergema di telingaku. Dia itu bodoh atau apa, sih? Padahal aku sudah membelanya tapi dia malah mengusirku. Biar saja, aku tak peduli lagi dengannya. Dasar cewek lembek, dia malah tangis-tangisan sama Mamanya yang selama ini sudah sering membuatnya susah itu. Aku jadi kesal.

“Kenapa?” suara Kak Yanti tiba-tiba menyapaku dari belakang, aku menoleh dan menemukannya sedang melangkah ke arahku sambil membawa secangkir teh dengan asap yang masih mengepul. “Kayaknya dari tadi kamu cemberut terus, cerita dong,” katanya sambil duduk di sebelahku, di depan layar TV yang sama sekali tak menarik minatku dari tadi. Oh iya, saking sibuknya marah-marah aku sampai lupa kalau Kak Yanti sudah pulang kerja sejak sejam yang lalu. Sekarang masih jam tujuh malam, dan Papa masih sibuk di toko. Akhir-akhir ini sepertinya usahanya semakin bagus.

“Tidak perlu. Aku bukan orang lemah yang sedikit-sedikit mengeluh,” balasku.

“Loh? Mengeluh itu manusiawi kok, sekali-sekali curhat ‘kan boleh saja,” Kak Yanti setengah tertawa sebelum ia kembali menyeruput teh-nya.

Aku tak menanggapinya dan mencoba menghilangkan kegundahanku dengan mengganti-ganti channel TV. Kami diam cukup lama sampai akhirnya kuputuskan untuk bertanya saja, tentang hal yang menggangguku selama ini.
“Sesuatu yang dilupakan itu pasti hal yang tidak penting, ‘kan?” pertanyaanku membuat Kak Yanti sempat terpana beberapa saat, dia menatapku dengan alis yang berkerut. Lalu ia mulai tersenyum dan meletakkan cangkir tehnya di atas meja.

“Kau tahu besok hari apa?” tanyanya lagi. Kali ini aku yang dibuat bingung. “Ulang tahun Papa, loh. Kau lupa?” kalimatnya yang ini membuatku terhenyak. Iya, ulang tahun Papa. Kenapa aku bisa lupa? Kenapa aku melupakan hal sepenting itu?
“Kau lupa, ya?” sambung Kak Yanti lagi. “Apa ulang tahun Papa itu tidak penting?” dan dia kembali tersenyum penuh makna. Aku tak bisa berkata-kata, aku hanya bisa terdiam dan menunduk dengan pikiran yang seperti benang kusut.
“Di dunia ini tidak ada yang tidak penting,” Kak Yanti menyentuh lembut kepalaku. “Sekecil apapun, sejelek apapun, dia itu ada karena dia penting. Apa menurutmu kalau seseorang melupakanmu maka saat itu juga kau sudah menjadi tidak penting lagi? Memangnya keberadaanmu hanya sebatas itu?” tanyanya lagi dengan senyum hangat. Aku lagi-lagi terdiam karena sibuk mencerna ucapannya.

Kriiiing...

Bunyi telepon di ruang tengah membuatku tersentak. Karena tak ada tanda-tanda Kak Yanti akan bergerak, kuputuskan aku saja yang mengangkat telepon.

“Assalamualaikum,” kata suara di seberang sana.

Aku kenal suara ini, “Wa alaikumsalam,” jawabku.

“Mia?” suara yang tidak asing ini langsung mengenaliku. Dia Hana...

“Iya, kenapa?” balasku, sebenarnya aku agak gugup bicara dengannya.

“Maaf ya, tadi siang itu... aku tahu kau begitu karena peduli padaku, seharusnya aku tidak boleh mengusirmu, Maaf ya...”

Aku tak menjawabnya. Bukan karena aku tak mau menjawab, tapi karena aku tak bisa. Aku tak bisa membiarkan dia mendengar suaraku parau, karena saat ini air mataku sedang mengalir tak terkendali. Aku menangis, rasanya aku begitu lega dia meneleponku duluan, saking leganya aku sampai menangis. Padahal kupikir aku akan kehilangan dia, satu-satunya teman yang tidak meninggalkan aku, satunya-satunya teman yang selalu mengulurkan tangannya padaku saat aku terjatuh.

“Mia... jangan marah, ya. Aku benar-benar minta maaf, tadi keadaanya memang kacau. Tapi sekarang sudah tidak apa-apa, aku dan Mama sudah bicara, dan dia berjanji tidak akan menyia-nyiakan hidupnya lagi. Dia berjanji akan menghadapi semuanya bersama-sama denganku. Dan semua itu karena kamu juga. Aku bersyukur punya teman sepertimu. Aku bersyukur punya teman yang tegar sepertimu...”

Tegar? Apa iya begitu? Sebenarnya apa yang menentukan siapa kuat dan siapa lemah. Bukannya kamu yang jauh lebih kuat dan tegar? Aku ini bukannya kuat, aku cuma pura-pura. Aku ini si bodoh yang sok kuat, mana ada manusia yang tidak menangis. Bukannya manusia itu memang makhluk yang lemah, dan semakin lemah kalau berhadapan dengan kehendak Tuhan. Tapi selama ini aku selalu mengingkarinya.

“Hana...,” kataku kemudian, “Terima kasih, ya.”

“Terima kasih untuk apa?”

“Terima kasih karena kau tidak pernah bosan menjadi temanku...”

Hana pun tertawa di seberang sana, dia benar-benar tertawa lepas, “Sama-sama,” katanya. “Coba katakan itu juga pada Mamamu,” sambungnya lagi. “Coba bilang terima kasih, karena biar bagaimanapun juga dia itu Mamamu, ‘kan?”

***

Kalimat terakhir Hana waktu itu membuatku berada di sini, rumah sakit tempat Mamaku dirawat. Hari ini aku memutuskan untuk mengunjunginya, untuk kedua kalinya sejak dia masuk ke sini. Aku menemukan wanita itu sedang duduk sendirian di kursi taman, pandangannya kosong, dia hanya terdiam tanpa ada satu apapun yang menarik perhatiannya. Padahal disekitarnya ada yang tertawa-tawa, ada yang menyanyi, ada yang bicara sendiri, dan berbagai macam tingkah lagi. Tapi dia tak terpengaruh, mungkin sama seperti yang lainnya, dia hanya sibuk dengan dunianya sendiri, dan di dunianya itu bukan berarti dia tak memikirkan apapun, bukan berarti tak ada aku, Kak Yanti, dan Papa di sana. Mungkin saja justru karena dia selalu memikirkan kami, makanya dia menjadi seperti itu. Mungkin saja karena dia terlalu menyayangi kami...

Aku melangkah mendekat dan perlahan duduk di sebelah wanita yang dulu selalu kupanggil Mama itu. Dokter Mira – dokter yang menanganinya – bilang akhir-akhir ini dia sudah banyak kemajuan. Dan aku ingin tahu kemajuan seperti apa itu...


Entah sudah berapa lama aku menemaninya duduk di situ, tapi tetap tak ada yang berubah. Aku mulai putus asa, bagaimana mungkin bisa mengajaknya bicara kalau dia menoleh padaku pun tidak. Dia bahkan tak melirikku, sedikitpun...

Sudahlah. Semua ini percuma saja, lebih baik aku pulang.

Aku baru saja beranjak saat tiba-tiba ada sentuhan lembut di lenganku. Aku menoleh dan detik itu juga darahku seolah berhenti mengalir. Wanita itu sedang memegang tanganku, dia menahanku, dan matanya lurus menatapku. Aku memutuskan untuk kembali duduk di posisiku semula, tapi kali ini keadaannya berbeda. Mata kami benar-benar bertemu. Akhirnya dia melihatku. Dia menyadari keberadaanku, dan itu membuatku sulit mempercayainya, aku tak mengerti perasaan apa ini? Tubuhku seolah membatu dan jantungku berdetak tak normal. Wanita ini... Mamaku.

Tangannya bergerak perlahan menyentuh wajahku. Saat aku tersadar ternyata bendungan air mataku sudah bobol, dan jarinya bergerak lembut menyapu pipiku. Aku menangis. Lagi-lagi aku menangis. Rasanya belakangan ini aku jadi cengeng. Entah kenapa dadaku sesak sekali, benar-benar sesak sampai aku tak tahu lagi bagaimana mengendalikannya. Tidak tahu... aku tidak tahu kenapa aku menangis seperti ini...

“Terima kasih,” suaraku parau dan aku nyaris tersedak. “Terima kasih selama ini kau sudah menjadi Mamaku... aku bersyukur kau adalah Mamaku... terima kasih...”

Ya, karena dia adalah Mamaku, seperti apapun dia, tak ada yang bisa mengubah kenyataan kalau dia itu memang Mamaku. Selama ini dan seterusnya dia adalah Mamaku...

Sampai kapan pun akan tetap begitu...

(END)

Jumat, 25 November 2011

Sepenggal cerita dari LO (Liaison Officer) SEA Games 2011. (The great Indonesian spectators falling from grace)


 I’ve never felt like this before, I did always have a thought that Malaysian is the one who pick a quarrel. But, actually, it’s not like that, not totally I guess.

Rusaknya sebiji kacang hijau, bukan berarti kacang hijau yang lain di dalam karung juga rusak. Kami para LO atau NOC Assistances adalah orang pertama yang paling dekat dengan kontingen masing-masing negara yang menjadi tanggung jawab kami. Sebagai LO, kami selalu mendampingi kontingen, mulai dari menjemput mereka dari airport, mengantar ke lokasi training dan venue pertandingan setiap hari, memastikan mereka merasa nyaman selama SEA Games, sampai mengantarkan mereka kembali ke airport di hari terakhir kompetisi SEA Games

Tanpa perlu menyombong, dengan berbangga hati saya sebagai LO team Taekwondo Philippines bisa mengatakan bahwa mereka sudah menganggap saya bagian dari team. Waktu yang singkat tak mampu mencegah kami menjalin pertemanan. Saya pikir, begitu juga dengan LO negara yang lain. Saya tak begitu paham kondisi cabang olahraga (cabor) yang lain selain Taekwondo dan Futsal. Jadi saya hanya akan bicara mengenai pertandingan Taekwondo dan Futsal untuk menjadikannya sebagai tolak ukur cabor lainnya.

Supporter Indonesia sudah menunjukkan sikap anti terhadap kontingen Malaysia bahkan sejak opening ceremony Taekwondo di GOR POPKI Cibubur diselenggarakan. Mereka menyerukan “buuuuu….” keras ketika protocol acara memanggil kontingen Malaysia untuk bergabung dengan kontingen lainnya, sorakan bahkan sudah dimulai ketika kontingen Malaysia berjalan di sisi lapangan denga membawa bendera Malaysia.

Perasaan saya terasa sangat berbeda dengan saat saya biasanya menonton pertandingan Indonesia vs Malaysia melalui layar kaca. Biasanya saya hanya akan tersenyum menyaksikan ulah supporter Indonesia yang kelihatan sangat tidak menyukai Malaysia. Tapi kali ini, saya merasa malu dan ingin sekali meneriakkan “DIAM!” pada mereka. Teman saya, LO team Malaysia, sampai berkali-kali meminta maaf pada kontingennya walaupun kontingen Malaysia juga berkali-kali mengatakan “Tidak apa-apa, kamu tidak perlu minta maaf.” Yang membuat saya semakin tidak enak hati adalah feedback kontingen Malaysia yang ternyata sangat berbesar hati memaklumi sikap supporter Indonesia dan tetap berteman baik dengan kami, para LO ataupun Indonesian committee lainnya yang mereka temui.

Pada pertandingan Futsal, ketika para supporter bertiak “maling… maling…” pada kontingen Malaysia yang memasuki lapangan, salah seorang atlet Philippine bertanya pada saya, “What that means?”
Saya bingung harus menjawab apa, dan memutuskan untuk mengatakan, “I have no idea, I can’t clearly hear what are they yelling out.”
Dan atlet yang lain pun ikut bertanya, “But, they are yelling in a harmony. What the meaning of that? Why are they going mad because of Malaysian appearance?”

Saya hanya bisa tertawa garing, dalam hati saya berpikir, perlukah saya menceritakan isu antara Indonesia-Malaysia yang selama ini hanya saya ketahui melalui media (saya mulai berpikir kalau mungkin saja selama ini saya sudah terlalu banyak termakan berita yang dibesar-besarkan karena berdasarkan kenyataan yang saya lihat selama SEA Games, orang-orang Malaysia cukup bersahabat). Lagipula, saya sadar kalau SEA Games adalah ajang olahraga yang menjunjung sportifitas antara negara-negara Asia Tenggara. Rasanya sangat tidak etis kalau pada momen seperti ini, saya mengungkit isu politik yang belum cukup jelas saya ketahui seluk-beluk masalahnya.
“Yeah…,” saya mencoba menjawab, “You know, neighbors always have something to quarrel about. There are some issues between Indonesia and Malaysia.” Itulah jawaban saya.

Setiap kali kami, para LO, sudah mengantarkan kontingen kami ke venue (POPKI Cibubur). Maka kami punya waktu luang untuk berkumpul sambil menonton pertandingan sebelum nanti pertandingan usai dan kami harus me-manage kontingen kembali ke hotel. Makanya, kami sering berkumpul di satu sudut tribun penonton untuk memberikan dukungan pada kontingen masing-masing (jika kontingen kami tidak sedang bertanding dengan Indonesia :D).

Ketika tiba giliran kontingen Malaysia yang bertanding, sorakan negative pun mulai terdengar dari segala penjuru GOR. Beberapa atlet dan official Malaysia di tribun, yang tidak sedang bertanding,  ketika baru saja ingin memberikan dukungan langsung ditimpali dengan sorakan penonton dan akhirnya membuat mereka urung berteriak memberikan dukungan pada temannya. Kami, sekelompok LO, pun berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk memberikan dukungan pada kontingen Malaysia. Tapi kami tidak kehabisan akal untuk sedikit membesarkan hati kontingen Malaysia – yang sepertinya sudah gerah karena terus-terusan menerima “buuuu…,” sejak hari pertama. Kami cukup akrab dengan kontingen Malaysia, kami mengenal beberapa nama atletnya, maka alih-alih meneriakkan nama “Malaysia”, kami memilih untuk meneriakkan nama atlet yang sedang bertanding. Dengan kompak kami meneriakkan “Semangat, Edy!” nama salah seorang atlet Taekwondo Malaysia. Mendengar teriakan dukungan dari kami, sisa kontingen Malaysia yang tidak sedang bertanding di tribun itu pun langsung menoleh ke arah kami, kumpulan para LO berseragam biru. Lalu mereka tersenyum terlihat sangat senang. Kami pun puas karena bisa memberikan dukungan tanpa harus menerima tatapan membunuh atau sorakan negative dari penonton Indonesia di GOR itu.

Ulah supporter yang memalukan dan menjadi aib bagi Indonesia ini bukan hanya ditujukan untuk Malaysia (walaupun pada kenyataannya kontingen Malaysia yang menerima sikap permusuhan terburuk). Waktu saya melihat pertandingan final badminton di Istora Senayan, lagi-lagi saya harus merasakan malu yang sama. Kali ini terhadap kontingen Singapore. Firdasari berhasil dikalahkan dipertandingan final, dan Singapore berhak atas medali emas, tapi pada saat lagu kebangsaan Singapore dikumandangkan, supporter Indonesia malah menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sungguh kekanak-kanakan dan (menurut saya) itu tidak bisa dimaafkan. Kriminalitas tingkat tinggi yang sangat mencoreng nama bangsa. Indonesian spectators sangat tidak dewasa, mereka ingin dihormati tapi tidak mampu menghormati bangsa lain. Saya melihat beberapa official Singapore menggelengkan kepala menyaksikan aksi yang sangat tidak bersahabat dari para penonton.

Thailand juga harus menelan penghinaan yang sama. Waktu itu adalah pertandingan sepakbola Indonesia vs Thailand, saya menemani team manager Taekwondo dari Thailand untuk menonton langsung di GBK. Beliau sangat antusias, bahkan beliau menolak untuk duduk di kursi VVIP dan lebih memilih duduk bersama kami, para LO Taekwondo yang menemaninya. Beliau memang datang untuk mendukung tim sepakbola negaranya, tapi beliau mengaku senang dengan euphoria para pendukung Indonesia bahkan sesekali ikut meneriakkan yell-yell “Indonesia… Indonesia” di sela tepuk tangan kompak para supporter. Beliau mengaku senang karena di Indonesia begitu banyak orang menyukai sepakbola, laki-laki maupun perempuan.

Saat pertandingan usai, kami pun berjalan keluar GBK untuk kembali ke hotel, di tengah kerumunan saya melihat media Thailand sedang on air bersama reporternya. Malam itu, Thailand mengalami kekalahan, tapi team manager Taekwondo yang saya temani menonton di GBK itu tidak terlihat marah ataupun sedih sama sekali. Beliau menyukai pertandingan ini walaupun timnas mudanya kalah, beliau bahkan mengaku bahwa malam pertandingan itu adalah pengalaman yang sangat menyenangkan baginya.

Tapi yang terjadi selanjutnya, salah seorang supporter Indonesia berteriak “Indonesia menang, Thailand f*ck!” sambil mengacungkan jari tengahnya di depan media Thailand tepat ketika saya dan manager team Taekwondo Thailand sedang melintas. Saya tidak tahu beliau menyadarinya atau tidak, tapi saya bersyukur bahwa setelah kejadian itu beliau tetap bersikap seperti biasa.

Saya harap, penonton Indonesia dapat lebih dewasa dalam menyikapi persaingan anta negara, khususnya dalam bidang olahraga yang seperti ini. Jika ingin bangsa kita dihormati, maka hormatilah bangsa orang lain terlebih dulu. Saya tidak tahu siapa yang lebih dulu menyalakan api di antara Indonesia dan Malaysia, tapi kalau api sudah menyala seperti ini, tidak ada gunanya kita menyiramkan bensin ke dalam nyala api. Salah-salah malah kita sendiri yang nantinya akan terbakar. Apa salahnya kita berusaha memadamkan api walaupun air yang kita miliki tidak banyak. Apa salahnya kita bersikap sedikit bersahabat kepada negara jiran daripada kita ikut-ikutan memusuhi mereka yang nantinya bisa memperburuk keadaan.

Mungkin mereka (Malaysia) memang agak menyebalkan, sering sekali membuat masyarakat Indonesia merasa gerah dan jengkel karena ulahnya yang aneh-aneh. Tapi bukan berarti semua orang Malaysia seperti itu, bukan berarti kita harus memusuhi semua orang Malaysia yang kita lihat. Selidikilah dulu akar permasalahannya sebelum mengambil sikap, jangan cuma ikut-ikutan saja.

Perlakukanlah orang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan.

Tolong berpikirlah sebelum bertindak.

Salam Damai



Indonesian spectators "memerahkan" GBK

Sabtu, 01 Januari 2011

Dari Garudamania untuk Tim Garuda-ku






Aku tak begitu pintar mengolah kata-kata seindah uda Ito.
Aku Cuma orang yang terinspirasi dengan tulisan uda Ito.

Ditengah ramainya orang-orang yang meminta kalian untuk tetap semangat, tidak menyerah, dan mengganyang Malaysia. Uda Ito adalah satu dari (mungkin) beberapa orang yang sadar kalau pundak kalian bisa hancur karena begitu beratnya beban yang harus kalian pikul.

Kepada kapten timnas garudaku, Firman Utina.
Aku tidak akan memintamu untuk melupakan kegagalan eksekusi finaltimu. Tapi aku juga tidak akan memintamu untuk terus-menerus menyesali kegagalan itu. Aku tahu kalau tugas eksekutor itu bukan hal yang mudah, dan aku yakin kalau sebenarnya seluruh pendukung Timnas juga mengetahui hal itu, tapi beberapa diantara mereka hanya tidak bisa menahan kekecewaan tanpa mencari seseorang yang bisa disalahkan. Dan aku sangat tidak memuji mereka yang bisanya hanya mencari kambing hitam atas gagalnya kita membawa pulang tropi AFF.
Karena sebenarnya aku dan seluruh Garudamania bisa melihat bagaimana hebatnya kalian di lapangan hijau itu.
Bagaimana kuatnya tekad kalian yang mencoba membalas kepercayaan kami.
Bagaimana lelahnya kalian yang tak pernah berhenti menyerah sampai peluit panjang wasit berbunyi.
Apalah artinya sebuah piala jika dibandingkan dengan besarnya kecintaan kami terhadap Indonesia yang telah dibangkitkan kembali oleh semangat juang kalian.
Setelah sekian lama, akhirnya kalianlah yang telah berhasil menyatukan bangsa ini
TERIMAKASIH atas kerja keras dan usahamu, kapten.
TERIMAKASIH karena sudah membangkitkan semangat nasionalisme dan menyatukan negeri ini.

Kepada Nasuha, Hamka, Zulkifli, Ridwan, Maman, Bustomi, Markus, Okto, Arif, dan seluruh pemain di bench.
Aku tak mengerti lagi bagaimana cara mengungkapkannya. Sebelumnya aku belum pernah merasa secinta dan sekagum ini kepada apa yang disebut orang sebagai ‘atlet’.
Perjuangan yang terus-menerus tanpa kenal lelah. Nasuha yang tak peduli lagi pada perban di kepalanya, Arif yang terus berlari sampai hanya bisa dihentikan oleh rasa sakit karena kram, Okto yang aku yakin sangat menyesal tak bisa ikut bertanding di leg 2, dan Hamka, Maman, Zulkifli yang terus membantu Markus. Serta Ridwan yang tak pernah lengah melihat peluang, juga mereka yang duduk di bench dan siap menggantikan para pejuang di lapangan.
Kalian hebat.
Kalian luar biasa.
Hanya kalian yang bisa membuatku merasa rugi mengedipkan mata saat menonton pertandingan sepakbola.
Aku melihat kalian seolah siap menyerahkan semuanya malam itu. Kalian berlari sekencangnya dan mata kalian hanya bisa melihat bola. Kalian tidak memikirkan apapun selain bola, mengejarnya, mendapatkannya, menggiringnya, dan melakukan apa saja untuk menyarangkannya di gawang lawan.
Walaupun aku tak pernah tau apa yang sedang kalian pikirkan selama 90 menit itu.
Apa kalian cemas kalau kami akan membiarkan kalian berjalan sendirian di sisa waktu yang tersedia?
Apa kalian takut melakukan kesalahan yang membuat kami kecewa dan berbalik melempari kalian?
Apa kalian khawatir tidak berhasil menang dan kami semua akan meninggalkan kalian berjuang sendirian tanpa nyanyian penyemangat di lapangan itu?
Kalau boleh, aku ingin mewakili seluruh Garudamania meminta maaf jika kami sudah membuat kalian terbebani sampai separah itu.
Kami tak pernah bermaksud menghapus senyum diwajah kalian hanya karena kekalahan kecil yang tak bisa disebut sebagai ‘kekalahan’ itu.
Kami  hanya menginginkan kalian tak pernah tertunduk dan tetap berjalan gagah di lapangan hijau, dengan atau tanpa piala.
Tak ada yang dapat kita lakukan dengan piala itu kalaupun kita berhasil mendapatkannya. Tapi dengan memenangkan pertandingan tanpa gelar juara, setidaknya kita bisa memetik hikmah.
Bahwa bangsa ini adalah bangsa besar. Bangsa ini adalah bangsa yang siap berkumpul dari sabang sampai merauke jika tanah air membutuhkan kami.
Dan para petinggi yang selama ini banyak mendapat cercaan itu sebenarnya juga hanyalah seorang manusia yang juga menyukai sepakbola, mereka yang selama ini telah dibutakan materi ternyata juga bisa tertawa bersama rakyat yang datang dari berbagai golongan di seluruh pelosok negeri.
Bahwa kami, garudamania, tidak berpikiran dangkal. Kekaguman kami kepada kalian tidak hanya sebatas sebuah piala.
Kami, garudamania, tidak sekolot itu. Yang cuma akan berteriak-teriak kegirangan dan mengelu-elukan nama kalian kalau kalian berhasil menang dan malah berbalik mencibir kalau kalian gagal.
Tidak. Jangan remehkan loyalitas kami.
Kami menyukai dan mendukung kalian karena kami adalah garudamania, karena semangat garuda itu telah mengalir di darah kami.
Dan apapun yang terjadi, menang ataupun kalah, selama kalian tetap memakai lambang kebesaran itu di dada kalian, selama kalian bermain bola karena kalian menyukainya dan selama kalian tidak bermain sebagai seorang pecundang.
Maka selama itulah kami akan menjadi pemain ke 12 untuk kalian.
TERIMAKASIH atas kerja keras dan usaha kalian.
TERIMAKASIH kalian sudah membangkitkan semangat nasionalisme dan menyatukan negeri ini.


Kepada Irfan, Gonzales, pelatih Riedl dan asistennya.
Terimakasih karena kalian sudah memberikan yang terbaik untuk bangsa ini.
Kalian memang tidak pure Indonesia, tapi kalian membukakan mata kami bahwa sejak dulu Indonesia seharusnya sudah seperti ini.
Bahwa inilah jatidiri Indonesia. Sebuah bangsa yang beragam dan tersebar di seluruh penjuru negeri.
Bahwa sesungguhnya jika kita semua bersatu, Indonesia bahkan terlihat lebih besar dibandingkan Negara manapun. Kita bahkan bisa menjadi raksasa sebesar apapun yang kita mau.
Kita bisa membuat orang bergidik ngeri saat kita semua berkumpul mengenakan segala atribut kebangsaan dan penuh semangat menggemakan satu kata…
“I N D O N E S I A “

TERIMAKASIH atas kerja keras dan usaha kalian.
TERIMAKASIH kalian sudah membangkitkan semangat nasionalisme dan menyatukan negeri ini.


Kepada Bambang Pamungkas.
Sampai kapanpun Anda adalah pemain yang akan selalu menempati ruang khusus di hati saya. Walaupun banyak yang mengatakan kalau sekarang bukan zaman Anda lagi, tapi hal itu tidak berlaku bagi saya. Dan saya yakin Anda juga begitu. Bermain bola bukan tentang zaman si muda atau zaman si tua. Bermain bola adalah bagaimana seorang pemain dapat menyatu dengan timnya demi mencapai suatu hal yang disebut uda Ito sebagai “Kegembiraan”.
BePe, Anda bermain bola karena Anda suka, kan?
Maka saya akan tetap mendukung Anda sampai Anda meminta saya berhenti.
TERIMAKASIH atas kerja keras dan usaha Anda.
TERIMAKASIH karena sudah membangkitkan semangat nasionalisme dan menyatukan negeri ini.

Tak ada lagi yang bisa kukatakan kepada kalian, Tim Garudaku.
Tapi kurasa memang tak ada yang lebih penting lagi untuk diucapkan selain…
“TERIMAKASIH. AKU CINTA KALIAN.”