Rabu, 11 September 2013
Ketika Hati Ini Jauh DariNYA
Senin, 05 Maret 2012
Kenangan itu Hanya Bisa untuk Dikenang
dan aku jadi sadar, betapa waktu tak akan bisa terulang lagi.
betapa tiap detik yang telah terlewat tak akan pernah kembali lagi.
masa-masa itu, saat kampung halamanku masih terasa begitu menyenangkan.
saat tubuh2 kecil kami berlari riang dibawah teriknya mentari.
saat itu, tak pernah sedikitpun terlintas dibenakku..
Kalau suatu hari aku akan pulang kesana dan menyaksikan tempat itu tidak akan pernah sama lagi seperti saat terakhir kali aku melihatnya
Gang yang rasanya menyempit...
Atap mushola yang rasanya lebih rendah...
Dan teman-teman masa kecil yang tak tahu hilang kemana...
Lalu rumah itu...
Rumah yang dulu menjadi saksi masa-masa kecil yang bahagia itu...
Terlihat sangat berbeda
Entah kenapa semuanya terasa sangat berbeda.
Terlebih lagi...
Aku merindukan keluargaku
Aku rindu saat-saat ketika aku membujuk mama agar mengijinkanku mandi hujan
Rindu saat-saat ketika kakak sulungku memarahiku
saat-saat ketika kakak keduaku mengusirku karena tak ingin aku mendengarkan obrolannya
saat ketika kakak ketigaku dengan berat hati mengikuti keinginanku untuk bermain...
dan ketika aku mandi dengan sangat riang berharap ketika Papa pulang kerja dia akan mengatakan:
“Anak Papa wangi sekali...”
entah cara apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan moment-moment itu kembali...
Tapi tak bisa...
Aku tahu aku sudah tak akan pernah bisa mengulangnya lagi
Kampung halaman sudah jauh berbeda
Teman-teman masa kecil sudah beranjak dewasa
Mama dan Papa merantau di seberang selat
Kakak sulungku begitu disayang Tuhan sehingga ia dipanggil lebih dulu daripada kami semua
Kakak kedua dan ketiga sudah memiliki keluarga sendiri yang ingin mereka bahagiakan
Tinggal aku...
Tinggal aku yang kadang-kadang masih suka bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu itu
Seperti saat ini...
Saat pikiran itu terlintas
Betapa waktu tak akan pernah terulang kembali...
Betapa masa-masa itu telah berlalu dan hanya bisa dikenang...
Hanya bisa dikenang...

Selasa, 29 November 2011
Aku Tak Pernah Tau Kapan Harus Berhenti
”Nasib yang paling beruntung adalah tidak dilahirkan.
Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda.
Dan yang paling sial adalah mati tua.”
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)
Aku ini memang bukan Realis murni.
Tapi aku juga bukan orang yang idealis.
Aku salut melihat perjuangan orang-orang seperti Soe Hok Gie dan Munir.
Tapi aku tidak siap untuk menjadi seperti mereka.
Terlalu banyak orang yang menderita.
Itu menjadikan terlalu banyak orang yang juga harus dibantu.
Apa mereka semua harus diberikan uluran tangan?
Aku mulai meragukan sesuatu yang selama ini dikenal dengan sebutan ”kepedulian”
Apakah ada orang yang sungguh-sungguh peduli?
Kalau bukan keluarganya, atau temannya, atau tetangganya, atau orang-orang yang pernah membantunya.
Apakah ada orang yang mau peduli pada orang lain?
Yah...
Kurasa aku harus berhenti bersikap skeptis.
Tapi aku merasa sulit menepis pikiran-pikiran seperti itu.
Aku memang manusia yang penuh dengan pikiran-pikiran sampah.
Aku tempat berkumpulnya kebencian, kedengkian, kekecewaan, kemarahan, dan semua hal-hal buruk yang (pastinya) dimiliki manusia – walaupun dengan kadar yang berbeda.
Dunia ini terlalu indah kalau bisa melihat cinta.
Tapi sayang cinta itu tidak bisa terlihat kecuali hanya dalam susunan lima huruf yang membentuk sebuah kata C I N T A.
Kau bilang cinta bisa ditunjukkan dengan pelukan?
Atau ciuman?
Atau ucapan ’aku mencintaimu’?
Atau sebuah pengorbanan?
Apa itu yang namanya cinta?
Ok, anggaplah aku ini orang bodoh yang tak mengenal cinta.
Tapi apa kau pernah berpikir, kalau saja benar orang-orang di dunia memiliki dan menyanjung cinta.
Kenapa kita masih butuh uang?
Bukankan bisa saja kita membeli es krim lalu membayarnya dengan pelukan atau ciuman?
Tidak bisa, kan?
Jadi mana yang lebih besar di dunia ini?
Love?
Atau...
Profit?
Cinta itu tidak banyak di dunia.
Cinta itu bukan milik semua orang.
Bukan milik manusia...
Bukan.
Beruntunglah kalian yanga mati muda.
Dari tiada kembali ke tiada...
Dan berbahagialah dalam ketiadaan.
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)
Kamis, 27 Januari 2011
BETAPA
Kamis, 25 November 2010
Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 2)
Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 1)
Senin, 22 Maret 2010
Sajak Cinta Untuk Sang Pecinta Ramadhan
Matahari masih memancarkan sinar yang sama
Gesekan dedaunan masih melantunkan nada yang sama
Hembusan angin pun masih memberi sentuhan yang sama
Namun ada sesuatu yang berbeda
Orang-orang tersenyum dan saling menyapa
Wewangian surga tercium dari nafas mereka
Dan lafadz-lafadz istighfar menyelinap di setiap obrolan mereka
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat ramah…
Hari ini masih sama dengan hari-hari yang lain…
Nyanyian burung-burung masih terdengar sama
Warna langit masih memperlihatkan biru yang sama
Rerumputan pun masih menebarkan harum yang sama
Namun ada sesuatu yang berbeda
Orang-orang berkumpul memenuhi rumah-rumah Allah
Aurat mereka tertutup dengan rapi
Dan lantunan ayat suci terdengar saling bersahutan dari segala penjuru
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat indah…
Hari ini juga sama dengan hari-hari yang lain
Tetapi tidak
Ternyata memang ada sesuatu yang berbeda
Ramadhan telah menjemput dan memberi sentuhannya
Melapangkan pintu-pintu hati
Membersihkan jiwa-jiwa yang keruh
Dan mereka yang mesyukurinya dengan tulus selalu berharap
“Alangkah bagusnya jika semua bulan seindah Ramadhan…”
Ah…
Ya Rabb
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat nikmat…
By: Gie
Minggu, 21 Maret 2010
Sajak Cinta Untuk Bunda
Aku tak keberatan
Jika suatu saat nanti…
Pagi hariku harus selalu tanpa sapaan dari sang mentari
Asalkan waktu bersedia berhenti sejenak
Untuk tak memutihkan tiap helai rambutmu…
Aku juga tak keberatan
Jika suatu saat nanti…
Langit malamku harus selalu kelam tanpa senyuman dari sang bulan
Asalkan raut keceriaan itu masih melekat di wajahmu…
Karena Bunda…
Sampai detik ini kau belum pernah tergantikan
Sampai detik ini putihmu masih yang paling bersinar dibandingkan siapa pun…
Dan sampai detik ini kau masih begitu berarti…
Kekagumanku padamu...
Takkan pernah hilang tertelan sang waktu...
Bunda…
Hanya kasih sayangmu…
Membuat siangku selalu berhiaskan pelangi
Membuat cakrawala dalam gapaianku
Dan bintang-bintang runtuh dipangkuanku…
Hanya perhatianmu Bunda…
Membuatku merasa bagai sang putri
Membuat tiap-tiap keping waktu menjadi kenangan yang begitu berharga
Dan menerbangkanku diantara serombongan angsa ke mega-mega merah…
Bunda…
Aku begitu mengagumimu…
Dan ingin selalu bersamamu…
Walau bumi memuntahkan seluruh isinya
Dan pelangi memudarkan warna-warninya
Namun sampai kapanpun, “aku akan selalu mencintaimu…”
By : Gie
Third winner “Lomba Tulis Puisi Hari Ibu HIMAPRODI PBSI, 2007”
Siapakah Aku?
Yang berdiri di pinggir selokan kotor
Membatu...membisu
Menyaksikan genangan air yang menari di sela-sela roda
Dan ketika air kotornya memercik ke wajahku...
Aku kembali bertanya
Siapakah aku?
Yang tak mati, namun nyawa tak mampu lagi bercerita tentang kehidupan
Yang tak mati, namun nafas tak mampu lagi menghembuskan molekul-molekul kehidupan...
Siapakah aku?
Yang dosanya telah membenang, merangkai sulaman diatas kain hitam
Yang jejaknya telah hilang tersapu debu dan petanya kusam tak terawat
Hingga sampai saat ini masih meraba mencari secercah cahaya...
Siapakah aku?
Yang terlempar dari dunia nyata dan memasuki alam khayal
Yang mencoba menghitung langkah lemah dalam gundah
Dan tak tau kemana ia akan berlalu...
Siapakah aku?
Yang masih berdiri di pinggir selokan kotor itu
Terbata mengeja kebenaran yang ada
Dan hampir kehabisan kata-kata untuk menterjemahkan...
Siapakah aku?
Aku adalah hujan yang membasahi bumi...
Yang meresap ke tanah, kemudian menguap kembali menjadi awan
Lalu membentuk kristal-kristal hujan untuk kesekian kalinya...
sampai akhirnya...Hanya kepada-Nya lah tempatku kan kembali
by: Gie
Best Friend
Sepasang sayap yang sebening mata bidadari
Agar dapat membawaku terbang tinggi
Melewati batas-batas yang tak terjangkau itu
Karena kau tak pernah menolak untuk menjadi lilin
Menerangiku dalam kegelapan
Manuntunku menghindari jalan berlubang
Sekalipun kau akan lebur demi semua itu
Namun kau akan tetap bersamaku
Dan takkan pernah meninggalkanku
Berikan aku sepasang sayap sahabat sejatiku
Sepasang sayap yang sebening tetes embun
Agar bisa membawaku terbang melayang
Diantara serombongan angsa ke mega-mega merah
Karena kau tak butuh banyak kata untuk memahamiku
Mengerti sebelum aku bercerita
Menemukanku sebelum aku mencari
Sekalipun melihat yang terburuk dari diriku
Namun kau akan tetap berada disana
Tertawa disaat aku bahagia
Menangis disaat aku berduka
Dan meraih tanganku disaat aku menggapai
Maka berikan aku sepasang sayap belahan jiwaku
Sepasang sayap yang sebening kristal pelangi
Untuk menjaga persahabatan kita
Tetap murni dan abadi
Selamanya…
By: Gie
Inspirated by “His Other Personality”
Catatan Negeri Yang Terpuruk
Jangan pernah mengeluh...
Walaupun kita harus bernaung di bawah daun-daun kering yang berguguran
Karena selama ini kitalah gambaran kemarau itu
Yang tak mengerti perih karena kita sendiri adalah luka
Jangan pernah mengeluh...
Walaupun hamparan kejayaan itu terasa mahal dan berada jauh diujung sana
Karena kitalah penonton itu
Yang menyaksikan sandiwara di pentas kita sendiri
Sehingga kita terpenjara dalam bongkahan air mata yang membeku
Jangan pernah mengeluh...
Walaupun rajutan kebenaran itu terus disayat-sayat pedang penipuan
Karena tanpa disadari, kitalah bahasa-bahasa kehancuran itu
Yang tak hanya lidah kita, nafas kita, air mata kita, denyut nadi dan jantung kita pun ikut berdusta
Dan akhirnya kita terlempar ke semak belukar...terbunuh berkali-kali... terasing di negeri sendiri
Menghuni gubuk reot dibawah langit kelabu, dibawah mentari yang bersekutu dengan mendung...
Jangan pernah mengeluh...
Walaupun kita hanya mampu terbata mengeja kekalahan di dalam negri yang porak-poranda
Karena sesungguhnya kitalah kehancuran yang nyaris abadi itu
Kitalah bangkai yang telah lama disemayamkan dibawah nisan-nisan itu
Yang tak dapat lagi berdiri karena api-api semangat telah padam oleh ludah kita sendiri
Yang membiarkan para pahlawan mati sia-sia di medan perang
Dan mayatnya tetap berada dipangkuan kehinaan
Jangan pernah mengeluh...
Walaupun sejak dulu negri ini tak pernah merdeka
Karena kitalah lumpur yang membatu itu
Kitalah secarik kain itu
Yang tak bisa membalut luka negri ini
Yang menyaksikannya membisu dan tak mampu lagi mengangkat tangannya sekalipun hanya untuk menyeka setetes keringatnya...
Kitalah cerita tentang pertikaian itu
Kitalah tumpukan luka yang menyapa negri ini ketika siangnya patah
Kitalah awan mendung yang terus menghujankan darah di bumi pertiwi ini...
Yang selalu menanyakan kemana perginya deru kemerdekaan itu
Kemana perginya puing-puing negri termasuk timor-timor yang telah hilang
Kitalah generasi itu... Kitalah penerus itu
Dan perubahan itu ada di tangan kita
Jadi masih adakah waktu untuk mengeluh?
By : Gie
Inspirated by Taufiq Ismail
