Tampilkan postingan dengan label Suara Hening. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Suara Hening. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2013

Ketika Hati Ini Jauh DariNYA


Ada kalanya, ketika aku merasa bahwa membuka mata itu adalah sesuatu yang sangat merugikan
Ketika aku mengalami mimpi yang sangat indah dan dipaksa untuk kembali ke dunia nyata

Ada kalanya ketika aku tak ingin mendengar apapun lagi
Tak ingin menyaksikan apapun lagi
Tak ingin merasakan apapun lagi
Tak ingin mengalami apapun lagi
Ketika mata, telinga, hati, dan tubuh ini sudah sangat lelah
Dan ketika semua yang kuperjuangkan terasa tak pantas lagi

Ada kalanya ketika aku ingin menangis...
Namun tak ada air mata yang keluar
Ketika aku tak mampu mencintai, namun disaat yang bersamaan...
Juga tak memiliki satu apapun yang mampu kubenci untuk menjadikan segalanya lebih bernyawa
Ketika aku memandangi wajah di sekitarku
Dan merasa mereka sedang bicara tentang semua keburukanku
Ketika setiap suara tawa seolah sedang melempari wajahku dengan lumpur

Tak ada tempat yang mampu memberiku ruang
Tak ada waktu yang mampu memberiku masa
Tak ada suara yang mampu membuatku nyaman
Tak ada tatapan yang mampu membuatku tak merasa sedang dihakimi
Tak ada lagi orang yang berani kusebut sebagai teman
Seolah tawa dan senyum pun hanya menjadi sebuat coretan tak bermakna di atas kanvas

Imajinasi dan tokoh yang kukagumi pun terasa semakin samar
Tempat-tempat yang ingin kudatangi terasa semakin jauh dan tak terjangkau
Sampai tak mampu lagi kutemukan satu mimpi pun yang indah
Hingga aku tak mengharapkan apapun lagi

Selain tidur panjang dan tak ingin terjaga...

Senin, 05 Maret 2012

Kenangan itu Hanya Bisa untuk Dikenang

Tiba2 aku teringat masa2 saat aku masih kecil.
dan aku jadi sadar, betapa waktu tak akan bisa terulang lagi.
betapa tiap detik yang telah terlewat tak akan pernah kembali lagi.

masa-masa itu, saat kampung halamanku masih terasa begitu menyenangkan.
saat tubuh2 kecil kami berlari riang dibawah teriknya mentari.
saat itu, tak pernah sedikitpun terlintas dibenakku..
Kalau suatu hari aku akan pulang kesana dan menyaksikan tempat itu tidak akan pernah sama lagi seperti saat terakhir kali aku melihatnya

Gang yang rasanya menyempit...
Atap mushola yang rasanya lebih rendah...
Dan teman-teman masa kecil yang tak tahu hilang kemana...

Lalu rumah itu...
Rumah yang dulu menjadi saksi masa-masa kecil yang bahagia itu...
Terlihat sangat berbeda
Entah kenapa semuanya terasa sangat berbeda.

Terlebih lagi...
Aku merindukan keluargaku
Aku rindu saat-saat ketika aku membujuk mama agar mengijinkanku mandi hujan
Rindu saat-saat ketika kakak sulungku memarahiku
saat-saat ketika kakak keduaku mengusirku karena tak ingin aku mendengarkan obrolannya
saat ketika kakak ketigaku dengan berat hati mengikuti keinginanku untuk bermain...
dan ketika aku mandi dengan sangat riang berharap ketika Papa pulang kerja dia akan mengatakan:
“Anak Papa wangi sekali...”

entah cara apa yang bisa kulakukan untuk mendapatkan moment-moment itu kembali...

Tapi tak bisa...
Aku tahu aku sudah tak akan pernah bisa mengulangnya lagi
Kampung halaman sudah jauh berbeda
Teman-teman masa kecil sudah beranjak dewasa
Mama dan Papa merantau di seberang selat
Kakak sulungku begitu disayang Tuhan sehingga ia dipanggil lebih dulu daripada kami semua
Kakak kedua dan ketiga sudah memiliki keluarga sendiri yang ingin mereka bahagiakan

Tinggal aku...
Tinggal aku yang kadang-kadang masih suka bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lalu itu
Seperti saat ini...
Saat pikiran itu terlintas
Betapa waktu tak akan pernah terulang kembali...
Betapa masa-masa itu telah berlalu dan hanya bisa dikenang...
Hanya bisa dikenang...


Selasa, 29 November 2011

Aku Tak Pernah Tau Kapan Harus Berhenti

By: AngelGetMad


”Nasib yang paling beruntung adalah tidak dilahirkan.
Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda.
Dan yang paling sial adalah mati tua.”
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)

Aku ini memang bukan Realis murni.
Tapi aku juga bukan orang yang idealis.
Aku salut melihat perjuangan orang-orang seperti Soe Hok Gie dan Munir.
Tapi aku tidak siap untuk menjadi seperti mereka.

Terlalu banyak orang yang menderita.
Itu menjadikan terlalu banyak orang yang juga harus dibantu.
Apa mereka semua harus diberikan uluran tangan?

Aku mulai meragukan sesuatu yang selama ini dikenal dengan sebutan ”kepedulian”
Apakah ada orang yang sungguh-sungguh peduli?
Kalau bukan keluarganya, atau temannya, atau tetangganya, atau orang-orang yang pernah membantunya.
Apakah ada orang yang mau peduli pada orang lain?

Yah...
Kurasa aku harus berhenti bersikap skeptis.
Tapi aku merasa sulit menepis pikiran-pikiran seperti itu.
Aku memang manusia yang penuh dengan pikiran-pikiran sampah.
Aku tempat berkumpulnya kebencian, kedengkian, kekecewaan, kemarahan, dan semua hal-hal buruk yang (pastinya) dimiliki manusia – walaupun dengan kadar yang berbeda.

Dunia ini terlalu indah kalau bisa melihat cinta.
Tapi sayang cinta itu tidak bisa terlihat kecuali hanya dalam susunan lima huruf yang membentuk sebuah kata C I N T A.
Kau bilang cinta bisa ditunjukkan dengan pelukan?
Atau ciuman?
Atau ucapan ’aku mencintaimu’?
Atau sebuah pengorbanan?
Apa itu yang namanya cinta?

Ok, anggaplah aku ini orang bodoh yang tak mengenal cinta.

Tapi apa kau pernah berpikir, kalau saja benar orang-orang di dunia memiliki dan menyanjung cinta.
Kenapa kita masih butuh uang?
Bukankan bisa saja kita membeli es krim lalu membayarnya dengan pelukan atau ciuman?
Tidak bisa, kan?

Jadi mana yang lebih besar di dunia ini?
Love?
Atau...
Profit?

Cinta itu tidak banyak di dunia.
Cinta itu bukan milik semua orang.
Bukan milik manusia...
Bukan.

Beruntunglah kalian yanga mati muda.
Dari tiada kembali ke tiada...
Dan berbahagialah dalam ketiadaan.
(Nicholas Saputra dalam ”Soe Hok Gie”)

Kamis, 27 Januari 2011

BETAPA



Ya Rabb…
Betapa rapuhnya hubungan di antara kedua manusia
Bahkan hanya dengan kerikil kecil saja dapat menyebabkan kehancuran yang luar biasa
Betapa mudahnya manusia yang saling mencintai berubah menjadi saling membenci
Bahkan hanya dengan satu kalimat sederhana saja keduanya akan mulai saling memaki
Ya Rabb…
Betapa kerdilnya makhluk ciptaan-Mu ini
Betapa mudahnya kami saling membenci dan bermusuhan
Betapa mudahnya kami menyakiti hati yang lainnya
Betapa mudahnya kami melupakan kebaikan orang lain dan melupakan kesalahan kami
Ya Rabb…
Betapa Aku melihat rumah itu sudah sangat rapuh sekian lama
Bukan hanya dua pilar utama saja yang sudah tua
Bahkan pilar-pilar pendukung lainnya juga seperti susunan kepingan-kepingan kaca
Yang akan hancur lebur hanya dengan sentuhan kecil
Ya Rabb…
Betapa susahnya mempertahankan sesuatu yang indah dan baik
Betapa lebih mudah bagi kami untuk membiarkannya runtuh
Betapa kami bersusah payah untuk memperlihatkan semuanya baik-baik saja
Betapa begitu gampangnya kami menciptakan suasana pertengkaran
Ya Rabb…
Betapa rapuh dan kerdilnya makhluk ciptaan-Mu ini…

Kamis, 25 November 2010

Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 2)


“Sahabat itu seperti lilin. Bersedia lebur demi menerangi jalanmu.
Sahabat itu seperti bintang. Walaupun jauh dan kadang menghilang, tapi dia selalu ada.
Sahabat itu gak butuh banyak kata untuk tau isi hatimu.
Sahabat itu adalah orang yang akan selalu siap menarik tanganmu kalau kau terjatuh, selalu siap menepuk pundakmu kalau kau kehilangan semangat, selalu ada di tempat yang bisa kau jangkau kalau kau membutuhkan seseorang.
Dan sejauh apapun kau berjalan, kalau kau melihat ke belakang, dia masih tetap akan berada di sana. Tersenyum padamu...”
(dari berbagai sumber)

Masalahnya, apakah orang seperti itu memang ada?

Aku Yuri, 21 tahun. Saat ini sedang kuliah di salah satu universitas negeri di Riau.
Pertama kali jadi mahasiswa, aku bertemu dengan macam-macam orang lagi.
Teman-teman SMA-ku dulu pasti juga begitu.
Kali ini aku bertemu dengan akhwat-akhwat. Secara (nyaris) tak sengaja aku akan melewatkan satu tahun pertamaku jadi mahasiswa di sebuah pondokan akhwat.
Mereka baik. Mereka semua baik. Sangat baik malah.
Tapi untuk aku yang seperti ini, sikap baik mereka itu malah jadi membingungkan.
Aku tidak terbiasa suasana rumah seperti ini.
Aku sudah pernah bilang ‘kan, kalau di rumah aku lebih suka menghabiskan waktuku di kamar. Sendirian. Dan sekarang aku malah harus berbagi dengan seseorang.
Lagipula, penghuni pondokan ini tidak pernah bisa tenang kalau aku sudah seharian di kamar. Mereka pasti sibuk berbasa-basi seperti: “Ngerjain apa?” atau “Ikut yuk, hari ini ada seminar bagus di kampus”.

Aku gak cocok dengan semua ini.
Aku nggak terbiasa berbasa-basi. Dan aku memang selalu begini kalau di rumah.
Tapi ini yang membuatku berubah.
Ya, perlahan aku mulai menyesuaikan diri. Karena aku sadar kalau sekarang aku gak lagi ada di rumah. Sekarang aku ada di pondokan, dengan orang-orang lain yang bukan keluarga. Orang yang juga harus kuberikan sikap ramah, seperti orang-orang di sekolah dulu. Aku harus berusaha menjadi orang yang disukai.

Awalnya aku sempat capek karena harus selalu menyembunyikan mood jelekku. Tapi lama-lama ini menjadi hal yang gak sulit. Lagipula, teman-teman di pondokan ini ternyata bisa kusebut sebagai keluarga. Dan sedikit demi sedikit aku bisa menjadi “orang- yang-selalu-punya-mood-bagus”. Selama setahun tinggal bersama mereka, aku udah meninggalkan sifatku yang moody.

Tahun berikutnya kulalui di rumah kakakku. Walaupun aku masih suka sendirian di kamar, tapi aku gak pernah lagi memaksa orang untuk menyesuaikan sikap dengan mood-ku – tapi kadang aku masih gak bisa mengendalikan diri waktu mood lagi jelek, yah itu memang butuh proses.

Setahun di rumah kakakku, keluargaku mulai mengenali sifatku sebagai anak yang dewasa. Aku dibilang dewasa?
Begitulah, aku pernah dengar mereka ngobrol tentang aku dan bilang kalau sekarang aku bukan anak egois lagi, sekarang aku udah dewasa dan kadang malah bisa memberi solusi.

Apa aku senang dengan perubahan ini?
Tentu saja.

Tapi, lagi, aku harus pindah dan melewatkan waktu dengan orang lain lagi. Karena kakakku harus ikut suaminya pindah keluar kota, jadi aku harus mencari kos-kosan. Sampai akhirnya aku terbawa ke sebuah rumah. Aku dan beberapa orang teman yang sebelumnya nggak terlalu kukenal – kami cuma kenal nama dan sama sekali jarang ngobrol – memutuskan untuk mengontrak rumah daripada nge-kos.

Jadilah aku mengontrak sebuah rumah di dekat kampus, bersama dengan teman-teman baruku. Keadaan masih selalu baik-baik saja, kalau sekali-sekali ada cek-cok, itu bukan hal yang serius. Kami bisa melalui semuanya dengan normal. Walaupun mereka belum bisa kusebut sebagai sahabat, tapi mereka juga bukan musuh.
Ya, mereka itu adalah teman.

Selain mereka, aku juga punya teman-teman yang akhir-akhir ini akrab denganku di kampus. Teman-teman sekelas, aku punya banyak, dan sudah seperti keluarga. Bahkan rasanya, kalau dihitung-hitung, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka ini dibandingkan dengan keluargaku sendiri.

Tapi aku memang gak pernah tau apa yang mereka pikirkan.
Biar seakrab apapun. Kami tetap punya kehidupan sendiri-sendiri. Gak ada gunanya bersikap terlalu terbuka. Kepada siapapun, gak ada gunanya bersikap terlalu terbuka.
Selama aku gak terlalu membuka diri, gak akan ada masalah waktu berpisah ataupun waktu aku bertemu dengan orang lain.

Yupz.
Lagi-lagi aku kembali disadarkan kalau ternyata hidup ini memang seperti lari estafet. Walaupun mungkin kita udah menemukan orang yang nyaman untuk menjadi teman, tapi perubahan akan selalu datang. Perpisahan akan selalu ada, dan pertemuan dengan orang baru juga akan selalu menyertainya.
Aku jadi berpikir, orang yang gak bisa menerima perubahan adalah orang yang gak akan pernah bahagia.

Tapi, ada satu hal lagi yang kupelajari, “Semua orang pasti punya beberapa hal yang gak ingin diceritakan pada orang lain. Gak ada salahnya kalau kita punya rahasia, asalkan jangan terlalu menutup diri. Karena kita akan selalu bertemu orang-orang baru, dan beberapa di antaranya mungkin ada yang bisa menjadi teman.”

Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 1)


Namaku Yuri, 21 tahun. Dulu, di sekolah aku termasuk dalam kategori anak cerdas. Karena aku selalu ada di urutan pertama atau kedua ranking kelas. Tampangku biasa-biasa aja sih, tapi aku tipe orang yang cukup percaya diri dan kadang terkesan cuek. Kalau soal tampil atau bicara di depan umum, aku jagonya. Itu sebabnya aku sering diandalkan untuk jadi protokol upacara ataupun MC, aku juga pernah jadi penyiar radio, dan aku sering ikut serta dalam lomba pidato dan beberapa diantaranya berhasil kumenangkan.

Ada satu hal yang gak pernah bisa kumengerti dari diriku sendiri.
Sifatku yang moody.
Kadang aku pikir kalau mungkin aja aku ini sebenarnya punya kepribadian ganda.
Gak mungkin, ya? – Aku gak serius kok mikir kayak gitu.
Sifatku di rumah dan di sekolah beda banget.
Di rumah, aku menghabiskan hampir seluruh hariku di dalam kamar. Aku menyibukkan diriku dengan berbagai hal – seperti membaca dan menulis macam-macam – dan aku paling benci kalau pintu kamarku terbuka saat aku sedang berada di dalam kamar. Karena aku merasa itu agak mengganggu. Kurasa keluargaku sudah terlanjur mengenalku sebagai anak yang ketus dan gak akan ngomong kalau gak terlalu penting.

Tapi kalau udah sampai disekolah aku langsung berubah jadi orang yang bisa dibilang menyenangkan. Aku ramah pada siapa saja. Aku bahkan tertawa untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Kalau mengingatnya sekarang aku jadi sedikit mengerti, mungkin aku cuma berusaha supaya disukai orang lain.

Aku gak pernah punya sahabat. Sejak kecil aku ikut orang tuaku berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain – Ayahku seorang kontraktor yang pekerjaannya gak pernah tetap. Aku ingat pernah tinggal di Jakarta, Batam, Perawang, Merak, Lampung, Pangkalan Kerinci, dan akhirnya aku tinggal di Medan selama 6 tahun masa SD-ku. Tapi itu pun gak membuat aku punya sahabat. Kalau teman, aku punya banyak. Semasa SD, kami cuma berteman jika kami butuh, itu yang kupercaya. Semua teman-teman SD-ku seperti itu. Mereka ada di sekitarku selama aku juara kelas. Kedengaran berlebihan kan? Tapi itulah kenyataannya. Makanya aku gak pernah menganggap mereka sahabat.

Sampai sekarang, aku udah jadi mahasiswa di Pekanbaru. Dan gak satu namapun dari teman SD-ku yang terdengar kabarnya. Gak satu orangpun dari mereka yang masih bisa kusebut sebagai teman. Waktu aku kembali lagi ke Pangkalan Kerinci untuk melanjutkan SMP sekitar + 8 tahun yang lalu, orang pertama yang menyapaku adalah Suzan, tetangga sekaligus teman satu SMP-ku. Kami cukup akrab karena bisa dibilang dia sangat mengerti mood-ku. Gak jarang aku menyuruhnya pulang waktu dia main ke kamarku disaat mood-ku lagi jelek. Tapi dia gak pernah melakukan hal yang sama saat aku merasa butuh teman ngobrol dan memutuskan untuk main ke rumahnya. Aku datang ke kamarnya kapanpun aku suka – gak peduli bagaimanapun mood-nya saat itu – dan dia selalu menerimaku dengan baik.

Kami gak pernah jadi teman sekelas – selama ini gak jadi masalah karena rumah kami dekat. Tapi sejak aku pindah rumah, semuanya berubah. Kami jarang ketemu. Dia punya teman baru dan aku punya teman baru. Kami mulai disibukkan dengan lingkungan kami masing-masing. Setiap kali kami bertemu dan mencoba untuk ngobrol, gak ada hal menarik yang bisa dibicarakan dan itu membuat pertemuan kami jadi sangat singkat dan membosankan.

Hal seperti itu terus berlangsung sampai kami kelas XII. Kadang aku pengen dekat dengan Suzan lagi, tapi dia udah gak kayak dulu. Dia udah tumbuh jadi cewek yang cantik, mirip boneka, dan banyak cowok yang naksir. Kalau sama-sama dia aku jadi sering minder. Pernah suatu kali aku lagi jalan bareng dia, ada cowok dari kelas XII IA 3 tiba-tiba manggil aku. Aku sempat salah sangka dan rada Ge-eR; kupikir, tumben bukan Suzan yang dipanggil. Tapi rupanya tu cowok cuma mau bilang: “Yuri, salam ya buat Suzan.“ Wah... sulit diungkapkan rasanya, untung aku bisa jawab “Ok“ dengan santai – walaupun dalam hati kesal setengah mati.

Kerenggangan persahabatanku dan Suzan gak bisa ditolerir lagi. Mendadak kami jadi seperti orang asing walaupun masih sering saling menyapa kalau berpapasan.
Sebenarnya, bukan berarti aku gak pernah punya sahabat lagi. Waktu kelas X, aku sempat punya tiga orang teman, Yanti, Mela, dan Chi-chi. Kami empat sekawan yang menamakan diri kami MC=Y2 (Nama itu diambil dari inisial kami masing-masing).

Kami melewati hari-hari bersama, tertawa, bahkan pernah menangis bersama. Masalah satu orang di antara kami akan menjadi masalah kami berempat. Kalau dua orang di antara kami berselisih (biasanya Chi-chi dan Mela, mereka suka bertengkar gara-gara hal sepele), maka kami akan menyelesaikannya bersama. Aku dan Yanti yang akan jadi penengah, begitupun sebaliknya. Kami berempat seperti keluarga, kami ingat hari ulang tahun setiap orang di antara kami, dan kami selalu merencanakan kejutan hebat kalau satu di antara kami berulang tahun.

Kami terus seperti itu sampai segalanya mulai berubah. Sejak Chi-chi punya pacar, dia berubah (itu menurut Mela). Mela sering protes karena Chi-chi lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya dibanding kami. Aku ngerti sih, sengaja atau nggak, kami gak mungkin terus berempat selamanya. Saat-saat seperti ini memang akan datang dan tentu saja kami harus siap menghadapinya.

Kami mulai renggang waktu naik ke kelas XI, tak satupun dari kami sekelas. Aku di kelas XI IA 1, Yanti XI IA 2, Chi-chi XI IA 3, dan Mela XI IA 4. Entah kenapa kami jadi terpecah begitu. Tadinya kupikir gak ada masalah dengan perbedaan kelas itu. Tapi, seperti biasa, aku punya teman baru dan mereka juga begitu. Lain kelas, lain lingkungan, lain teman-teman, dan lain cerita. Kami masih berusaha mempertahankan MC=Y2, setiap jam istirahat kami ngumpul dan kami masih ingat kalau ada yang ulang tahun di antara kami. Tapi lama-lama, memang gak bisa dipungkiri, di dunia ini gak ada yang abadi. Aku mulai malas main ke kelas mereka, begitu juga dengan mereka. Kami lebih memilih untuk menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan teman sekelas kami masing-masing. Kami mulai lupa merencanakan kejutan kalau ada salah satu dari kami yang berulang tahun. Kami jadi malas ngumpul bareng dan bertukar cerita. Sampai akhirnya ada berita tentang mereka yang gak kuketahui dan ada berita tentangku yang gak mereka ketahui. Aku gak tau kalau Yanti udah jadian, bahkan dengan cowok yang dulu pernah kusuka waktu SMP. Tapi Yanti gak tau soal itu, kami beda sekolah waktu SMP. Lagipula perasaanku dengan cowok itu udah hilang. Jadi itu bukan masalah besar, kejadian itu gak membuatku mau mengakhiri MC=Y2.

Tapi kerenggangan antara kami makin gak terkendali. Buktinya, aku gak tau kalau Chi-chi udah putus sama pacarnya. Dia gak memberitauku, atau mungkin dia merasa gak perlu untuk memberitauku. Aku gak bisa melawan kenyataan kalau pada akhirnya kami cuma bisa saling senyum dan menyapa setiap kali berpapasan. Kami bukan lagi empat sekawan yang seperti keluarga.

Cerita tentang MC=Y2 udah selesai. Kali ini aku akan cerita tentang Hany. Teman sekelasku di kelas XI IA 1. Salah satu alasan yang membuatku lebih betah di kelas daripada pergi ke kelas salah satu dari teman MC=Y2. Hany orangnya ceria dan kocak.
Bersahabat dengan Hany membuatku merasa seperti orang yang sangat pemurung. Dia suka menghidupkan suasana, sedangkan aku dengan mood yang berubah-ubah selalu ingin dimengerti oleh orang lain. Dia itu terlalu terang, sinarnya sampai membuat semua yang ada disekelilingnya jadi gak kelihatan. Dia menyerap semua perhatian orang-orang disekitarku. Bahkan orang yang baru kukenal melalui dunia maya pun lebih senang chatting dengannya setelah aku mengenalkan ID-nya. Hany punya gaya bicara yang asyik dan seru, beda denganku. Tapi aku gak iri kok.
Ng...
Oke, aku memang sedikit iri.
Tapi bukan iri yang sampai membuatku benci padanya. Aku cuma iri karena gak bisa seperti dia. Kenapa aku gak bisa jadi orang yang ceria dan bisa menghidupkan suasana seperti dia. Kenapa aku lebih suka ngomong ketus sampai orang-orang menganggapku judes daripada ngomong sesuatu yang bisa buat orang ketawa.

Kejujuran itu memang gak selamanya menyenangkan Tapi aku memang orangnya seperti ini. Kadang suka bicara dan berpenampilan apa adanya. Mungkin sifatku yang seperti inilah yang membuatku terkesan jutek. Dan satu lagi, aku paling benci diajak bicara kalau (lagi-lagi) mood-ku sedang jelek. Lebih baik jangan pedulikan aku kalau perasaanku lagi gak baik. Karena tanpa kusengaja aku akan mengeluarkan kata-kata yang super judes dan ketus.
Masalahnya,
Siapa yang tau kalau perasaanku lagi gak baik, kalau bukan aku sendiri?
Menjadi sahabat yang baik itu memang sulit. Terutama bagiku.
Kalian tau ‘kan?
Saat kita ingin dimengerti dan saat orang lain ingin dimengerti, itu membutuhkan perasaan yang sangat kuat. Aku sadar kalau aku bukan satu-satunya orang yang butuh perhatian dan pengertian. Suzan, Yanti, Mela, Chi-chi, Hany, bahkan teman-teman SD-ku pun butuh hal itu.

Hany, walaupun sifat cerianya itu kadang-kadang berubah jadi menyebalkan. Tentang sifat tukang becandanya yang gak lihat-lihat waktu (dia suka membuat lelucon saat pelajaran sedang berlangsung), tentang sikapnya yang easy going dan suka cari jalan pintas (lebih suka nyontek daripada berusaha sendiri), tentang sikapnya yang suka mengaku “aku udah belajar cukup keras untuk ulangan ini”, padahal aku tau usahanya belum maksimal, dan tentang sifat-sifat malas berusahanya yang lain. Sering membuatku kesal. Tapi dia tetap pantas kusebut sebagai sahabat.

Aku pun semakin menyadari kalau hidup ini memang seperti lari estafet. Mulai dari start sampai finish kita akan bertemu dengan orang yang berbeda. Untuk terus berlari, kita harus meninggalkan yang lainnya. Walaupun kita masih bisa melihatnya, tapi keadaan gak akan pernah sama dengan sebelumnya. Perpisahan itu pasti datang.

Biarlah suatu saat kami menemukan begitu banyak perbedaan antara kami, biarlah suatu saat kami menemukan hal-hal baru di dalam kehidupan kami, biarlah suatu saat kami memutuskan untuk gak bersusah payah mempertahankan persahabatan kami. Biarlah itu semua terjadi, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti akan selalu berubah.
Hal yang gak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri.
Ada kalanya kita tiba di suatu titik perbedaan yang membuat kita merasa udah gak cocok sampai akhirnya hubungan itu akan merenggang dengan sendirinya.

Dan karena memang mau gimana lagi, menjadi teman yang baik itu sulit.
‘kan?

Bersambung...

Senin, 22 Maret 2010

Sajak Cinta Untuk Sang Pecinta Ramadhan

Hari ini sama dengan hari-hari yang lain…
Matahari masih memancarkan sinar yang sama
Gesekan dedaunan masih melantunkan nada yang sama
Hembusan angin pun masih memberi sentuhan yang sama

Namun ada sesuatu yang berbeda
Orang-orang tersenyum dan saling menyapa
Wewangian surga tercium dari nafas mereka
Dan lafadz-lafadz istighfar menyelinap di setiap obrolan mereka
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat ramah…

Hari ini masih sama dengan hari-hari yang lain…
Nyanyian burung-burung masih terdengar sama
Warna langit masih memperlihatkan biru yang sama
Rerumputan pun masih menebarkan harum yang sama

Namun ada sesuatu yang berbeda
Orang-orang berkumpul memenuhi rumah-rumah Allah
Aurat mereka tertutup dengan rapi
Dan lantunan ayat suci terdengar saling bersahutan dari segala penjuru
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat indah…

Hari ini juga sama dengan hari-hari yang lain
Tetapi tidak
Ternyata memang ada sesuatu yang berbeda
Ramadhan telah menjemput dan memberi sentuhannya
Melapangkan pintu-pintu hati
Membersihkan jiwa-jiwa yang keruh
Dan mereka yang mesyukurinya dengan tulus selalu berharap
“Alangkah bagusnya jika semua bulan seindah Ramadhan…”

Ah…
Ya Rabb
Entah kenapa tiba-tiba semuanya terasa sangat nikmat…

By: Gie

Minggu, 21 Maret 2010

Sajak Cinta Untuk Bunda

Bunda…
Aku tak keberatan
Jika suatu saat nanti…
Pagi hariku harus selalu tanpa sapaan dari sang mentari
Asalkan waktu bersedia berhenti sejenak
Untuk tak memutihkan tiap helai rambutmu…

Aku juga tak keberatan
Jika suatu saat nanti…
Langit malamku harus selalu kelam tanpa senyuman dari sang bulan
Asalkan raut keceriaan itu masih melekat di wajahmu…

Karena Bunda…
Sampai detik ini kau belum pernah tergantikan
Sampai detik ini putihmu masih yang paling bersinar dibandingkan siapa pun…
Dan sampai detik ini kau masih begitu berarti…
Kekagumanku padamu...
Takkan pernah hilang tertelan sang waktu...

Bunda…
Hanya kasih sayangmu…
Membuat siangku selalu berhiaskan pelangi
Membuat cakrawala dalam gapaianku
Dan bintang-bintang runtuh dipangkuanku…

Hanya perhatianmu Bunda…
Membuatku merasa bagai sang putri
Membuat tiap-tiap keping waktu menjadi kenangan yang begitu berharga
Dan menerbangkanku diantara serombongan angsa ke mega-mega merah…

Bunda…
Aku begitu mengagumimu…
Dan ingin selalu bersamamu…
Walau bumi memuntahkan seluruh isinya
Dan pelangi memudarkan warna-warninya
Namun sampai kapanpun, “aku akan selalu mencintaimu…”


By : Gie
Third winner “Lomba Tulis Puisi Hari Ibu HIMAPRODI PBSI, 2007”

Siapakah Aku?

Siapakah aku?
Yang berdiri di pinggir selokan kotor
Membatu...membisu
Menyaksikan genangan air yang menari di sela-sela roda
Dan ketika air kotornya memercik ke wajahku...
Aku kembali bertanya

Siapakah aku?
Yang tak mati, namun nyawa tak mampu lagi bercerita tentang kehidupan
Yang tak mati, namun nafas tak mampu lagi menghembuskan molekul-molekul kehidupan...

Siapakah aku?
Yang dosanya telah membenang, merangkai sulaman diatas kain hitam
Yang jejaknya telah hilang tersapu debu dan petanya kusam tak terawat
Hingga sampai saat ini masih meraba mencari secercah cahaya...

Siapakah aku?
Yang terlempar dari dunia nyata dan memasuki alam khayal
Yang mencoba menghitung langkah lemah dalam gundah
Dan tak tau kemana ia akan berlalu...

Siapakah aku?
Yang masih berdiri di pinggir selokan kotor itu
Terbata mengeja kebenaran yang ada
Dan hampir kehabisan kata-kata untuk menterjemahkan...

Siapakah aku?
Aku adalah hujan yang membasahi bumi...
Yang meresap ke tanah, kemudian menguap kembali menjadi awan
Lalu membentuk kristal-kristal hujan untuk kesekian kalinya...
sampai akhirnya...Hanya kepada-Nya lah tempatku kan kembali

by: Gie

Best Friend

Berikan aku sepasang sayap teman baikku
Sepasang sayap yang sebening mata bidadari
Agar dapat membawaku terbang tinggi
Melewati batas-batas yang tak terjangkau itu

Karena kau tak pernah menolak untuk menjadi lilin
Menerangiku dalam kegelapan
Manuntunku menghindari jalan berlubang
Sekalipun kau akan lebur demi semua itu
Namun kau akan tetap bersamaku
Dan takkan pernah meninggalkanku

Berikan aku sepasang sayap sahabat sejatiku
Sepasang sayap yang sebening tetes embun
Agar bisa membawaku terbang melayang
Diantara serombongan angsa ke mega-mega merah

Karena kau tak butuh banyak kata untuk memahamiku
Mengerti sebelum aku bercerita
Menemukanku sebelum aku mencari
Sekalipun melihat yang terburuk dari diriku
Namun kau akan tetap berada disana
Tertawa disaat aku bahagia
Menangis disaat aku berduka
Dan meraih tanganku disaat aku menggapai

Maka berikan aku sepasang sayap belahan jiwaku
Sepasang sayap yang sebening kristal pelangi
Untuk menjaga persahabatan kita
Tetap murni dan abadi
Selamanya…

By: Gie
Inspirated by “His Other Personality”

Catatan Negeri Yang Terpuruk



Jangan pernah mengeluh...

Walaupun kita harus bernaung di bawah daun-daun kering yang berguguran

Karena selama ini kitalah gambaran kemarau itu

Yang tak mengerti perih karena kita sendiri adalah luka

Jangan pernah mengeluh...

Walaupun hamparan kejayaan itu terasa mahal dan berada jauh diujung sana

Karena kitalah penonton itu

Yang menyaksikan sandiwara di pentas kita sendiri

Sehingga kita terpenjara dalam bongkahan air mata yang membeku

Jangan pernah mengeluh...

Walaupun rajutan kebenaran itu terus disayat-sayat pedang penipuan

Karena tanpa disadari, kitalah bahasa-bahasa kehancuran itu

Yang tak hanya lidah kita, nafas kita, air mata kita, denyut nadi dan jantung kita pun ikut berdusta

Dan akhirnya kita terlempar ke semak belukar...terbunuh berkali-kali... terasing di negeri sendiri

Menghuni gubuk reot dibawah langit kelabu, dibawah mentari yang bersekutu dengan mendung...

Jangan pernah mengeluh...

Walaupun kita hanya mampu terbata mengeja kekalahan di dalam negri yang porak-poranda

Karena sesungguhnya kitalah kehancuran yang nyaris abadi itu

Kitalah bangkai yang telah lama disemayamkan dibawah nisan-nisan itu

Yang tak dapat lagi berdiri karena api-api semangat telah padam oleh ludah kita sendiri

Yang membiarkan para pahlawan mati sia-sia di medan perang

Dan mayatnya tetap berada dipangkuan kehinaan

Jangan pernah mengeluh...

Walaupun sejak dulu negri ini tak pernah merdeka

Karena kitalah lumpur yang membatu itu

Kitalah secarik kain itu

Yang tak bisa membalut luka negri ini

Yang menyaksikannya membisu dan tak mampu lagi mengangkat tangannya sekalipun hanya untuk menyeka setetes keringatnya...

Kitalah cerita tentang pertikaian itu

Kitalah tumpukan luka yang menyapa negri ini ketika siangnya patah

Kitalah awan mendung yang terus menghujankan darah di bumi pertiwi ini...

Yang selalu menanyakan kemana perginya deru kemerdekaan itu

Kemana perginya puing-puing negri termasuk timor-timor yang telah hilang

Kitalah generasi itu... Kitalah penerus itu

Dan perubahan itu ada di tangan kita

Jadi masih adakah waktu untuk mengeluh?

By : Gie

Inspirated by Taufiq Ismail