Kamis, 25 November 2010

Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 2)


“Sahabat itu seperti lilin. Bersedia lebur demi menerangi jalanmu.
Sahabat itu seperti bintang. Walaupun jauh dan kadang menghilang, tapi dia selalu ada.
Sahabat itu gak butuh banyak kata untuk tau isi hatimu.
Sahabat itu adalah orang yang akan selalu siap menarik tanganmu kalau kau terjatuh, selalu siap menepuk pundakmu kalau kau kehilangan semangat, selalu ada di tempat yang bisa kau jangkau kalau kau membutuhkan seseorang.
Dan sejauh apapun kau berjalan, kalau kau melihat ke belakang, dia masih tetap akan berada di sana. Tersenyum padamu...”
(dari berbagai sumber)

Masalahnya, apakah orang seperti itu memang ada?

Aku Yuri, 21 tahun. Saat ini sedang kuliah di salah satu universitas negeri di Riau.
Pertama kali jadi mahasiswa, aku bertemu dengan macam-macam orang lagi.
Teman-teman SMA-ku dulu pasti juga begitu.
Kali ini aku bertemu dengan akhwat-akhwat. Secara (nyaris) tak sengaja aku akan melewatkan satu tahun pertamaku jadi mahasiswa di sebuah pondokan akhwat.
Mereka baik. Mereka semua baik. Sangat baik malah.
Tapi untuk aku yang seperti ini, sikap baik mereka itu malah jadi membingungkan.
Aku tidak terbiasa suasana rumah seperti ini.
Aku sudah pernah bilang ‘kan, kalau di rumah aku lebih suka menghabiskan waktuku di kamar. Sendirian. Dan sekarang aku malah harus berbagi dengan seseorang.
Lagipula, penghuni pondokan ini tidak pernah bisa tenang kalau aku sudah seharian di kamar. Mereka pasti sibuk berbasa-basi seperti: “Ngerjain apa?” atau “Ikut yuk, hari ini ada seminar bagus di kampus”.

Aku gak cocok dengan semua ini.
Aku nggak terbiasa berbasa-basi. Dan aku memang selalu begini kalau di rumah.
Tapi ini yang membuatku berubah.
Ya, perlahan aku mulai menyesuaikan diri. Karena aku sadar kalau sekarang aku gak lagi ada di rumah. Sekarang aku ada di pondokan, dengan orang-orang lain yang bukan keluarga. Orang yang juga harus kuberikan sikap ramah, seperti orang-orang di sekolah dulu. Aku harus berusaha menjadi orang yang disukai.

Awalnya aku sempat capek karena harus selalu menyembunyikan mood jelekku. Tapi lama-lama ini menjadi hal yang gak sulit. Lagipula, teman-teman di pondokan ini ternyata bisa kusebut sebagai keluarga. Dan sedikit demi sedikit aku bisa menjadi “orang- yang-selalu-punya-mood-bagus”. Selama setahun tinggal bersama mereka, aku udah meninggalkan sifatku yang moody.

Tahun berikutnya kulalui di rumah kakakku. Walaupun aku masih suka sendirian di kamar, tapi aku gak pernah lagi memaksa orang untuk menyesuaikan sikap dengan mood-ku – tapi kadang aku masih gak bisa mengendalikan diri waktu mood lagi jelek, yah itu memang butuh proses.

Setahun di rumah kakakku, keluargaku mulai mengenali sifatku sebagai anak yang dewasa. Aku dibilang dewasa?
Begitulah, aku pernah dengar mereka ngobrol tentang aku dan bilang kalau sekarang aku bukan anak egois lagi, sekarang aku udah dewasa dan kadang malah bisa memberi solusi.

Apa aku senang dengan perubahan ini?
Tentu saja.

Tapi, lagi, aku harus pindah dan melewatkan waktu dengan orang lain lagi. Karena kakakku harus ikut suaminya pindah keluar kota, jadi aku harus mencari kos-kosan. Sampai akhirnya aku terbawa ke sebuah rumah. Aku dan beberapa orang teman yang sebelumnya nggak terlalu kukenal – kami cuma kenal nama dan sama sekali jarang ngobrol – memutuskan untuk mengontrak rumah daripada nge-kos.

Jadilah aku mengontrak sebuah rumah di dekat kampus, bersama dengan teman-teman baruku. Keadaan masih selalu baik-baik saja, kalau sekali-sekali ada cek-cok, itu bukan hal yang serius. Kami bisa melalui semuanya dengan normal. Walaupun mereka belum bisa kusebut sebagai sahabat, tapi mereka juga bukan musuh.
Ya, mereka itu adalah teman.

Selain mereka, aku juga punya teman-teman yang akhir-akhir ini akrab denganku di kampus. Teman-teman sekelas, aku punya banyak, dan sudah seperti keluarga. Bahkan rasanya, kalau dihitung-hitung, aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan mereka ini dibandingkan dengan keluargaku sendiri.

Tapi aku memang gak pernah tau apa yang mereka pikirkan.
Biar seakrab apapun. Kami tetap punya kehidupan sendiri-sendiri. Gak ada gunanya bersikap terlalu terbuka. Kepada siapapun, gak ada gunanya bersikap terlalu terbuka.
Selama aku gak terlalu membuka diri, gak akan ada masalah waktu berpisah ataupun waktu aku bertemu dengan orang lain.

Yupz.
Lagi-lagi aku kembali disadarkan kalau ternyata hidup ini memang seperti lari estafet. Walaupun mungkin kita udah menemukan orang yang nyaman untuk menjadi teman, tapi perubahan akan selalu datang. Perpisahan akan selalu ada, dan pertemuan dengan orang baru juga akan selalu menyertainya.
Aku jadi berpikir, orang yang gak bisa menerima perubahan adalah orang yang gak akan pernah bahagia.

Tapi, ada satu hal lagi yang kupelajari, “Semua orang pasti punya beberapa hal yang gak ingin diceritakan pada orang lain. Gak ada salahnya kalau kita punya rahasia, asalkan jangan terlalu menutup diri. Karena kita akan selalu bertemu orang-orang baru, dan beberapa di antaranya mungkin ada yang bisa menjadi teman.”

Menjadi teman yang baik itu sulit (Bag. 1)


Namaku Yuri, 21 tahun. Dulu, di sekolah aku termasuk dalam kategori anak cerdas. Karena aku selalu ada di urutan pertama atau kedua ranking kelas. Tampangku biasa-biasa aja sih, tapi aku tipe orang yang cukup percaya diri dan kadang terkesan cuek. Kalau soal tampil atau bicara di depan umum, aku jagonya. Itu sebabnya aku sering diandalkan untuk jadi protokol upacara ataupun MC, aku juga pernah jadi penyiar radio, dan aku sering ikut serta dalam lomba pidato dan beberapa diantaranya berhasil kumenangkan.

Ada satu hal yang gak pernah bisa kumengerti dari diriku sendiri.
Sifatku yang moody.
Kadang aku pikir kalau mungkin aja aku ini sebenarnya punya kepribadian ganda.
Gak mungkin, ya? – Aku gak serius kok mikir kayak gitu.
Sifatku di rumah dan di sekolah beda banget.
Di rumah, aku menghabiskan hampir seluruh hariku di dalam kamar. Aku menyibukkan diriku dengan berbagai hal – seperti membaca dan menulis macam-macam – dan aku paling benci kalau pintu kamarku terbuka saat aku sedang berada di dalam kamar. Karena aku merasa itu agak mengganggu. Kurasa keluargaku sudah terlanjur mengenalku sebagai anak yang ketus dan gak akan ngomong kalau gak terlalu penting.

Tapi kalau udah sampai disekolah aku langsung berubah jadi orang yang bisa dibilang menyenangkan. Aku ramah pada siapa saja. Aku bahkan tertawa untuk hal yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Kalau mengingatnya sekarang aku jadi sedikit mengerti, mungkin aku cuma berusaha supaya disukai orang lain.

Aku gak pernah punya sahabat. Sejak kecil aku ikut orang tuaku berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain – Ayahku seorang kontraktor yang pekerjaannya gak pernah tetap. Aku ingat pernah tinggal di Jakarta, Batam, Perawang, Merak, Lampung, Pangkalan Kerinci, dan akhirnya aku tinggal di Medan selama 6 tahun masa SD-ku. Tapi itu pun gak membuat aku punya sahabat. Kalau teman, aku punya banyak. Semasa SD, kami cuma berteman jika kami butuh, itu yang kupercaya. Semua teman-teman SD-ku seperti itu. Mereka ada di sekitarku selama aku juara kelas. Kedengaran berlebihan kan? Tapi itulah kenyataannya. Makanya aku gak pernah menganggap mereka sahabat.

Sampai sekarang, aku udah jadi mahasiswa di Pekanbaru. Dan gak satu namapun dari teman SD-ku yang terdengar kabarnya. Gak satu orangpun dari mereka yang masih bisa kusebut sebagai teman. Waktu aku kembali lagi ke Pangkalan Kerinci untuk melanjutkan SMP sekitar + 8 tahun yang lalu, orang pertama yang menyapaku adalah Suzan, tetangga sekaligus teman satu SMP-ku. Kami cukup akrab karena bisa dibilang dia sangat mengerti mood-ku. Gak jarang aku menyuruhnya pulang waktu dia main ke kamarku disaat mood-ku lagi jelek. Tapi dia gak pernah melakukan hal yang sama saat aku merasa butuh teman ngobrol dan memutuskan untuk main ke rumahnya. Aku datang ke kamarnya kapanpun aku suka – gak peduli bagaimanapun mood-nya saat itu – dan dia selalu menerimaku dengan baik.

Kami gak pernah jadi teman sekelas – selama ini gak jadi masalah karena rumah kami dekat. Tapi sejak aku pindah rumah, semuanya berubah. Kami jarang ketemu. Dia punya teman baru dan aku punya teman baru. Kami mulai disibukkan dengan lingkungan kami masing-masing. Setiap kali kami bertemu dan mencoba untuk ngobrol, gak ada hal menarik yang bisa dibicarakan dan itu membuat pertemuan kami jadi sangat singkat dan membosankan.

Hal seperti itu terus berlangsung sampai kami kelas XII. Kadang aku pengen dekat dengan Suzan lagi, tapi dia udah gak kayak dulu. Dia udah tumbuh jadi cewek yang cantik, mirip boneka, dan banyak cowok yang naksir. Kalau sama-sama dia aku jadi sering minder. Pernah suatu kali aku lagi jalan bareng dia, ada cowok dari kelas XII IA 3 tiba-tiba manggil aku. Aku sempat salah sangka dan rada Ge-eR; kupikir, tumben bukan Suzan yang dipanggil. Tapi rupanya tu cowok cuma mau bilang: “Yuri, salam ya buat Suzan.“ Wah... sulit diungkapkan rasanya, untung aku bisa jawab “Ok“ dengan santai – walaupun dalam hati kesal setengah mati.

Kerenggangan persahabatanku dan Suzan gak bisa ditolerir lagi. Mendadak kami jadi seperti orang asing walaupun masih sering saling menyapa kalau berpapasan.
Sebenarnya, bukan berarti aku gak pernah punya sahabat lagi. Waktu kelas X, aku sempat punya tiga orang teman, Yanti, Mela, dan Chi-chi. Kami empat sekawan yang menamakan diri kami MC=Y2 (Nama itu diambil dari inisial kami masing-masing).

Kami melewati hari-hari bersama, tertawa, bahkan pernah menangis bersama. Masalah satu orang di antara kami akan menjadi masalah kami berempat. Kalau dua orang di antara kami berselisih (biasanya Chi-chi dan Mela, mereka suka bertengkar gara-gara hal sepele), maka kami akan menyelesaikannya bersama. Aku dan Yanti yang akan jadi penengah, begitupun sebaliknya. Kami berempat seperti keluarga, kami ingat hari ulang tahun setiap orang di antara kami, dan kami selalu merencanakan kejutan hebat kalau satu di antara kami berulang tahun.

Kami terus seperti itu sampai segalanya mulai berubah. Sejak Chi-chi punya pacar, dia berubah (itu menurut Mela). Mela sering protes karena Chi-chi lebih banyak menghabiskan waktu dengan pacarnya dibanding kami. Aku ngerti sih, sengaja atau nggak, kami gak mungkin terus berempat selamanya. Saat-saat seperti ini memang akan datang dan tentu saja kami harus siap menghadapinya.

Kami mulai renggang waktu naik ke kelas XI, tak satupun dari kami sekelas. Aku di kelas XI IA 1, Yanti XI IA 2, Chi-chi XI IA 3, dan Mela XI IA 4. Entah kenapa kami jadi terpecah begitu. Tadinya kupikir gak ada masalah dengan perbedaan kelas itu. Tapi, seperti biasa, aku punya teman baru dan mereka juga begitu. Lain kelas, lain lingkungan, lain teman-teman, dan lain cerita. Kami masih berusaha mempertahankan MC=Y2, setiap jam istirahat kami ngumpul dan kami masih ingat kalau ada yang ulang tahun di antara kami. Tapi lama-lama, memang gak bisa dipungkiri, di dunia ini gak ada yang abadi. Aku mulai malas main ke kelas mereka, begitu juga dengan mereka. Kami lebih memilih untuk menghabiskan waktu istirahat sekolah dengan teman sekelas kami masing-masing. Kami mulai lupa merencanakan kejutan kalau ada salah satu dari kami yang berulang tahun. Kami jadi malas ngumpul bareng dan bertukar cerita. Sampai akhirnya ada berita tentang mereka yang gak kuketahui dan ada berita tentangku yang gak mereka ketahui. Aku gak tau kalau Yanti udah jadian, bahkan dengan cowok yang dulu pernah kusuka waktu SMP. Tapi Yanti gak tau soal itu, kami beda sekolah waktu SMP. Lagipula perasaanku dengan cowok itu udah hilang. Jadi itu bukan masalah besar, kejadian itu gak membuatku mau mengakhiri MC=Y2.

Tapi kerenggangan antara kami makin gak terkendali. Buktinya, aku gak tau kalau Chi-chi udah putus sama pacarnya. Dia gak memberitauku, atau mungkin dia merasa gak perlu untuk memberitauku. Aku gak bisa melawan kenyataan kalau pada akhirnya kami cuma bisa saling senyum dan menyapa setiap kali berpapasan. Kami bukan lagi empat sekawan yang seperti keluarga.

Cerita tentang MC=Y2 udah selesai. Kali ini aku akan cerita tentang Hany. Teman sekelasku di kelas XI IA 1. Salah satu alasan yang membuatku lebih betah di kelas daripada pergi ke kelas salah satu dari teman MC=Y2. Hany orangnya ceria dan kocak.
Bersahabat dengan Hany membuatku merasa seperti orang yang sangat pemurung. Dia suka menghidupkan suasana, sedangkan aku dengan mood yang berubah-ubah selalu ingin dimengerti oleh orang lain. Dia itu terlalu terang, sinarnya sampai membuat semua yang ada disekelilingnya jadi gak kelihatan. Dia menyerap semua perhatian orang-orang disekitarku. Bahkan orang yang baru kukenal melalui dunia maya pun lebih senang chatting dengannya setelah aku mengenalkan ID-nya. Hany punya gaya bicara yang asyik dan seru, beda denganku. Tapi aku gak iri kok.
Ng...
Oke, aku memang sedikit iri.
Tapi bukan iri yang sampai membuatku benci padanya. Aku cuma iri karena gak bisa seperti dia. Kenapa aku gak bisa jadi orang yang ceria dan bisa menghidupkan suasana seperti dia. Kenapa aku lebih suka ngomong ketus sampai orang-orang menganggapku judes daripada ngomong sesuatu yang bisa buat orang ketawa.

Kejujuran itu memang gak selamanya menyenangkan Tapi aku memang orangnya seperti ini. Kadang suka bicara dan berpenampilan apa adanya. Mungkin sifatku yang seperti inilah yang membuatku terkesan jutek. Dan satu lagi, aku paling benci diajak bicara kalau (lagi-lagi) mood-ku sedang jelek. Lebih baik jangan pedulikan aku kalau perasaanku lagi gak baik. Karena tanpa kusengaja aku akan mengeluarkan kata-kata yang super judes dan ketus.
Masalahnya,
Siapa yang tau kalau perasaanku lagi gak baik, kalau bukan aku sendiri?
Menjadi sahabat yang baik itu memang sulit. Terutama bagiku.
Kalian tau ‘kan?
Saat kita ingin dimengerti dan saat orang lain ingin dimengerti, itu membutuhkan perasaan yang sangat kuat. Aku sadar kalau aku bukan satu-satunya orang yang butuh perhatian dan pengertian. Suzan, Yanti, Mela, Chi-chi, Hany, bahkan teman-teman SD-ku pun butuh hal itu.

Hany, walaupun sifat cerianya itu kadang-kadang berubah jadi menyebalkan. Tentang sifat tukang becandanya yang gak lihat-lihat waktu (dia suka membuat lelucon saat pelajaran sedang berlangsung), tentang sikapnya yang easy going dan suka cari jalan pintas (lebih suka nyontek daripada berusaha sendiri), tentang sikapnya yang suka mengaku “aku udah belajar cukup keras untuk ulangan ini”, padahal aku tau usahanya belum maksimal, dan tentang sifat-sifat malas berusahanya yang lain. Sering membuatku kesal. Tapi dia tetap pantas kusebut sebagai sahabat.

Aku pun semakin menyadari kalau hidup ini memang seperti lari estafet. Mulai dari start sampai finish kita akan bertemu dengan orang yang berbeda. Untuk terus berlari, kita harus meninggalkan yang lainnya. Walaupun kita masih bisa melihatnya, tapi keadaan gak akan pernah sama dengan sebelumnya. Perpisahan itu pasti datang.

Biarlah suatu saat kami menemukan begitu banyak perbedaan antara kami, biarlah suatu saat kami menemukan hal-hal baru di dalam kehidupan kami, biarlah suatu saat kami memutuskan untuk gak bersusah payah mempertahankan persahabatan kami. Biarlah itu semua terjadi, karena segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti akan selalu berubah.
Hal yang gak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri.
Ada kalanya kita tiba di suatu titik perbedaan yang membuat kita merasa udah gak cocok sampai akhirnya hubungan itu akan merenggang dengan sendirinya.

Dan karena memang mau gimana lagi, menjadi teman yang baik itu sulit.
‘kan?

Bersambung...

Rabu, 03 November 2010

Menjadi orang yang bahagia (edisi: si Warui)



Sebut saja dia Warui, dia itu seseorang yang lagaknya sok kuat.
Sok tegar, sok bisa melalui semuanya tanpa bantuan orang lain, sok gak pengen nangis. Pokoknya dia itu orangnya benar-benar sok, deh.
Padahal setiap hari kerjanya cuma bisa ngeluh aja. Hobinya menghela nafas panjang-panjang. Dia itu sebenarnya pengen diperhatikan, tapi dia gak mau bilang: ”Tolong perhatikan aku.”
Dia selalu gak puas dengan kehidupannya. Dia pernah bilang kalau dia pengen hidupnya berwarna. Melihat orang-orang disekitarnya bertukar cerita tentang hal yang mereka sukai dan mereka benci dengan sangat bersemangat, dia juga pengen kayak gitu.
Tapi dia bahkan gak punya sesuatu yang benar2 disukai, dan dia juga gak punya sesuatu yang benar2 dia benci. Dia itu seperti wadah yang kosong. Hampa. Gak ada isinya. Sampai dia pernah ngerasa kalau semua yang dimakan dan diminumnya gak terasa apa-apa lagi. Dia bahkan berkali-kali harus memasukkan makanan ke mulutnya dengan bantuan air putih, karena dia benar-benar gak bisa menelannya. Semuanya seperti mau dimuntahkan lagi.
Pelan-pelan dia mulai berpikir, pasti ada yang salah dengannya.
Dia gak punya sesuatu yang menarik dalam hidupnya.
Dia berkali-kali mau menceritakan tentang keanehannya itu sama seseorang. Tapi setiap kali dia mau cerita, seolah ada yang mencegahnya dan bilang ”Jangan bodoh! Kau kira mereka peduli?!”
Suatu hari dia kelepasan bicara, katanya dia ingin merasakan sesuatu dalam hidupnya yang datar. Dia mau ada sedikit rasa yang membuatnya sadar kalau dia itu memang hidup. Dia bilang: ”Aku mulai bosan, semuanya terlalu hambar. Aku mau sedikit ’rasa’. Pahit juga gak pa-pa”
Mungkin dia kualat atau apa. Satu persatu masalah datang menghampirinya dan menunggu untuk diselesaikan. Dia mulai kewalahan menghadapi masalah-masalah itu. Sampai akhirnya dia pernah satu atau dua kali meledak di depan seseorang, dia menangis sambil menceritakan masalahnya (salah satu dari beberapa masalahnya). Mungkin dia udah gak bisa menahannya lagi, mungkin udah terlalu menyesakkan baginya untuk disimpan sendiri.
Tapi selalu saja,
selalu saja setelah itu dia merasa menyesal. Dia menyesal udah kelihatan selemah itu di depan orang lain. Dia nyesal kenapa ada yang harus melihatnya menangis menyedihkan begitu. Dia nyesal kenapa dirinya bisa sebodoh itu memperlihatkan keadaan yang seolah minta dikasihani.
Dia menyesal dan selalu bertekad tak akan mengulangi perbuatan memalukan itu lagi. Tapi tekadnya itu yang malah membuat kondisinya semakin parah. Setiap kali dia merasa sudah hampir sampai pada batasnya, dia jadi bertanya-tanya...
Kenapa lagi-lagi dia mengeluh?
Kenapa lagi-lagi dia mencari seseorang yang mau mendengarkannya?
Kenapa lagi-lagi dia cengeng dan minta dikasihani?
Menyebalkan. Kenapa dirinya selemah ini? Kenapa selalu tak pernah puas?
Padahal dulu dia selalu merasa hampa, dan dia selalu menginginkan ada sedikit ’rasa’ dalam hidupnya. Tapi kenapa setelah dia diberi ’rasa’ yang dia cari itu, sekarang dia malah menyebut ’rasa’ itu sebagai masalah? Kemudian malah berkeluh kesah kesana-kemari?
Kenapa si Warui ini suka sekali mengeluh?
Kenapa dia gak pandai membuat dirinya sendiri bahagia?
Padahal Tuhan sudah memberikan begitu banyak anugerah padanya. Kenapa dia tak pernah berhenti sejenak memburu kebahagiaan itu, kenapa tidak berhenti sejenak untuk bersyukur?
Padahal sebenarnya untuk menjadi orang yang bahagia itu bisa dilakukan cukup hanya dengan mensyukuri apa yang sudah dia punya.
Tapi dia selalu merasa kurang, selalu saja merasa ada yang kurang. Tak pernah puas dengan apa yang dia punya.
Kenapa dia gak pernah mau mencoba bahagia dengan hal-hal kecil yang ada?
Padahal ’kan itu ada sangat banyak di sekitarnya.
Ada sangat banyak…
Banyak sekali…

Menjadi orang yang bahagia (edisi: ONIGIRI)

Waktu baca manga “Fruits Basket” karyanya Natsuki Takaya, aku dapat pencerahan (halah)
Gini, dalam manga itu ada tokoh bernama Kyo dan Yuki. Jadi dua anak cowok ini hobi banget berantem. Kalo ketemu kagak pernah akur. Kerjanya ngancurin rumah aja saking seringnya tonjok2an.

Usut punya usut, ternyata dua orang itu saling iri. Yuki iri sama Kyo yang punya sifat ceria n slalu bisa akrab sama orang lain. Beda banget sama Yuki yang pendiam. Eh, taunya si Kyo ini juga ngiri sama Yuki. Coz, si Yuki kan cakep, pinter lagi. Selalu jadi sumber kehisterisan cewek2 di skolahnya.

Nah, ada satu lagi tokoh yang namanya Toru. Dia bingung kenapa mereka berdua itu selalu bertengkar, padahal kan keduanya saling iri pada kelebihan lawannya masing2. Jadi, si Toru ini bilang. Mungkin aja letak kelebihan mereka itu sebenarnya ada di punggung.




Kayak onigiri.

Tau onigiri kan? Nasi kepal ala Jepang itu (kayak gambar yang di atas)

Onigiri punya umeboshi (bagian wana hitam yang lengket di nasi onigiri).
Jadi ceritanya umeboshi itu melekat dipunggung si onigiri. Makanya manusia itu kadang2 kayak onigiri, di setiap punggung kita sebenarnya ada umeboshi dengan berbagai macam bentuk, warna dan rasa. Tapi karena ada di punggung belakang, mungkin kita sendiri jadi gak bisa melihatnya n kadang itu bikin kita jadi kecil hati dan rendah diri. Kayak onigiri yang selalu merasa kalo dia gak punya apa2 dan dia gak lebih dari nasi putih biasa. Padahal sebetulnya di punggungnya ada umeboshi yang melekat. Padahal sebetulnya kita punya kelebihan di diri kita masing2.

Jadi jangan pernah buang2 waktu untuk berpikir menjadi orang lain. Karena sebenarnya hidup ini terlalu singkat untuk menjadi orang lain, kan?

Kalau kita iri sama orang lain, mungkin karena kita bisa lebih jelas melihat umeboshi punya orang itu. Sekarang pun mungkin ada yang iri pada sesuatu yang kita miliki, dan mungkin ada juga yang kagum sama kita, tapi kita gak menyadarinya. Mungkin kalau kita memikirkan hal itu, kita akan lebih bersemangat untuk menjadi diri kita sendiri.

Soalnya, kalau kita mau jadi orang yang bahagia dan bisa mencintai orang lain. Hal terpenting yang harus kita lakukan lebih dulu adalah menyukai diri sendiri.

NB: Tapi jangan terlalu sering melihat umeboshi-mu sendiri, nanti tanpa sadar kamu bisa berubah jadi orang yang dibenci loh