Rabu, 03 November 2010

Menjadi orang yang bahagia (edisi: si Warui)



Sebut saja dia Warui, dia itu seseorang yang lagaknya sok kuat.
Sok tegar, sok bisa melalui semuanya tanpa bantuan orang lain, sok gak pengen nangis. Pokoknya dia itu orangnya benar-benar sok, deh.
Padahal setiap hari kerjanya cuma bisa ngeluh aja. Hobinya menghela nafas panjang-panjang. Dia itu sebenarnya pengen diperhatikan, tapi dia gak mau bilang: ”Tolong perhatikan aku.”
Dia selalu gak puas dengan kehidupannya. Dia pernah bilang kalau dia pengen hidupnya berwarna. Melihat orang-orang disekitarnya bertukar cerita tentang hal yang mereka sukai dan mereka benci dengan sangat bersemangat, dia juga pengen kayak gitu.
Tapi dia bahkan gak punya sesuatu yang benar2 disukai, dan dia juga gak punya sesuatu yang benar2 dia benci. Dia itu seperti wadah yang kosong. Hampa. Gak ada isinya. Sampai dia pernah ngerasa kalau semua yang dimakan dan diminumnya gak terasa apa-apa lagi. Dia bahkan berkali-kali harus memasukkan makanan ke mulutnya dengan bantuan air putih, karena dia benar-benar gak bisa menelannya. Semuanya seperti mau dimuntahkan lagi.
Pelan-pelan dia mulai berpikir, pasti ada yang salah dengannya.
Dia gak punya sesuatu yang menarik dalam hidupnya.
Dia berkali-kali mau menceritakan tentang keanehannya itu sama seseorang. Tapi setiap kali dia mau cerita, seolah ada yang mencegahnya dan bilang ”Jangan bodoh! Kau kira mereka peduli?!”
Suatu hari dia kelepasan bicara, katanya dia ingin merasakan sesuatu dalam hidupnya yang datar. Dia mau ada sedikit rasa yang membuatnya sadar kalau dia itu memang hidup. Dia bilang: ”Aku mulai bosan, semuanya terlalu hambar. Aku mau sedikit ’rasa’. Pahit juga gak pa-pa”
Mungkin dia kualat atau apa. Satu persatu masalah datang menghampirinya dan menunggu untuk diselesaikan. Dia mulai kewalahan menghadapi masalah-masalah itu. Sampai akhirnya dia pernah satu atau dua kali meledak di depan seseorang, dia menangis sambil menceritakan masalahnya (salah satu dari beberapa masalahnya). Mungkin dia udah gak bisa menahannya lagi, mungkin udah terlalu menyesakkan baginya untuk disimpan sendiri.
Tapi selalu saja,
selalu saja setelah itu dia merasa menyesal. Dia menyesal udah kelihatan selemah itu di depan orang lain. Dia nyesal kenapa ada yang harus melihatnya menangis menyedihkan begitu. Dia nyesal kenapa dirinya bisa sebodoh itu memperlihatkan keadaan yang seolah minta dikasihani.
Dia menyesal dan selalu bertekad tak akan mengulangi perbuatan memalukan itu lagi. Tapi tekadnya itu yang malah membuat kondisinya semakin parah. Setiap kali dia merasa sudah hampir sampai pada batasnya, dia jadi bertanya-tanya...
Kenapa lagi-lagi dia mengeluh?
Kenapa lagi-lagi dia mencari seseorang yang mau mendengarkannya?
Kenapa lagi-lagi dia cengeng dan minta dikasihani?
Menyebalkan. Kenapa dirinya selemah ini? Kenapa selalu tak pernah puas?
Padahal dulu dia selalu merasa hampa, dan dia selalu menginginkan ada sedikit ’rasa’ dalam hidupnya. Tapi kenapa setelah dia diberi ’rasa’ yang dia cari itu, sekarang dia malah menyebut ’rasa’ itu sebagai masalah? Kemudian malah berkeluh kesah kesana-kemari?
Kenapa si Warui ini suka sekali mengeluh?
Kenapa dia gak pandai membuat dirinya sendiri bahagia?
Padahal Tuhan sudah memberikan begitu banyak anugerah padanya. Kenapa dia tak pernah berhenti sejenak memburu kebahagiaan itu, kenapa tidak berhenti sejenak untuk bersyukur?
Padahal sebenarnya untuk menjadi orang yang bahagia itu bisa dilakukan cukup hanya dengan mensyukuri apa yang sudah dia punya.
Tapi dia selalu merasa kurang, selalu saja merasa ada yang kurang. Tak pernah puas dengan apa yang dia punya.
Kenapa dia gak pernah mau mencoba bahagia dengan hal-hal kecil yang ada?
Padahal ’kan itu ada sangat banyak di sekitarnya.
Ada sangat banyak…
Banyak sekali…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar